Powered By Blogger

Selasa, Agustus 26

Hubungan CSR dengan Job analysis

Job analysis merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan perusahaan. Di tataran praktis hal ini berarti setiap tahapan manajemen CSR harus didasarkan pada kajian dan penilaian seksama. Hasil kajian yang baik akan mendukung perumusan rencana kegiatan yang handal. Hal yang sama juga menjadi landasan kokoh dalam pelaksanaan kegiatan, sekaligus menjadi sumber sahih dari kegiatan pemantauan dan evaluasi keberhasilan program CSR. Atas dasar inilah Assessment kuantitatif maupun kualitatif ditempatkan dalam urutan pertama dalam ranah jasa yang ditawarkan.

Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening)

  • Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment)
  • Survei Data Dasar (Baseline Survey)
  • Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments)
  • Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping)
  • Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and Management)

Keberhasilan pada suatu organisasi harus dilakukan penilaian. Penilaian tim bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan proses kerja tim yang bersangkutan. Idealnya sistem penilaian dirancang untuk membantu organisasi yang berdasarkan tim yang memberikan andil dalam mencerminkan; 1. Mendapatkan fungsi untuk menyediakan keahlian kepada tim ketika dibutuhkan, 2. Membuat orang-orang dari fungsi yang berbeda pada tim untuk berbicara dalam bahasa yang sama, sehingga mempunyai persepsi yang sama antar anggota dan antar tim.

Ada dua tipe penilaian tim, yaitu "Result measures" mengatakan organisasi dimana dia berdiri dalam usaha mencapai tujuan bukan bagaimana ia sampai disana bahkan lebih penting apa yang seharusnya dilakukan secara berbeda. Sedangkan "Process measures" memonitor tugas-tugas dan aktivitas melalui organisasi yang memperoleh hasil. Ada 4 langkah penciptaan proses pengukuran; 1. Definisikan apa jenis faktor-faktornya, (seperti; waktu, biaya, kualitas, kinerja product), 2. Pemetakan proses cross-functional yang digunakan men-deliver hasil, 3. Identifikasi tugas dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan.

Ada 4 petunjuk dalam memaksimalkan efektivitas dari team; 1. Tujuan sistem pengukuran seharusnya dapat membantu tim, dalam mengukur kemajuannya, 2. Pemberdayaan tim harus memainkan peran utama dalam merancang sistem penilaiannya sendiri, 3. Tim bertanggung jawab untuk proses tersebut, 4. Tim seharusnya hanya mengadopsi pengukuran yang berguna.

Ada satu keuntungan jika tim menciptakan sistem pengukurannya sendiriyaitu anggota yang berasal dari fungsi yang berbeda harus dapat menciptakan dan menyesuaikan bahasa yang sama untuk bekerja dalam tim yang efektif. Persepsi untuk menggunakan bahasa yang tepat memungkinkan komunikasi secara tepat antar bagian, antar tim atau antar fungsi. Pemahaman ini penting agar tidak terjadi misunderstanding yang dapat menimbulkan salah persepsi, kekacauan atau konflik.

Sebagai suatu hasil dari peningkatan jumlah tim di dalam lingkungan bisnis ada suatu peningkatan kepentingan untuk pemberdayaan tingkat yang lebih rendah dari individu dan sebuah peningkatan kepentingan untuk memberikan reward atau penghargaan terhadap inovasi dan kreativitas. Informalitas dan fleksibilitas akan menjadi hal umum. Sebagai suatu hasil dari desentralisasi dimana tim dapat membantu mencapai tujuan organisasi secara lebih cepat. Manajer menengah tidak akan lebih lama dalam peran kediktatoran tetapi akan memerlukan transformasi yang cepat untuk berubah ke dalam fasilitator, pembimbing, koordinator yang bertanggung jawab untuk mengembangkan kompetensi tenaga kerjanya.

Senin, Agustus 25

PENTINGNYA SUATU PENGUJIAN ’’ASSESSMENT ’’ PADA PROGRAM CSR (KAJIAN DAN PENILAIAN)

Assessment ( Kajian dan penilaian) merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan perusahaan. Di tataran praktis hal ini berarti setiap tahapan manajemen CSR harus didasarkan pada kajian dan penilaian seksama. Hasil kajian yang baik akan mendukung perumusan rencana kegiatan yang handal. Hal yang sama juga menjadi landasan kokoh dalam pelaksanaan kegiatan, sekaligus menjadi sumber dari kegiatan pemantauan dan evaluasi keberhasilan program CSR. Atas dasar inilah Assessment kuantitatif maupun kualitatif ditempatkan dalam urutan pertama dalam ranah jasa yang ditawarkan.

Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening)

  • Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment)
  • Survei Data Dasar (Baseline Survey)
  • Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments)
  • Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping)
  • Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and Management)

Transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana-dana social itu, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyanakat maupun tenutama media massa. Tanpa ada transparansi dan akuntabilitas yang cukup dapat timbul penyalahgunaan atau setidaknya fitnah dan kecurigaan dan masyarakat yang dapat menurunkan kepercayaan dan akhirnya minat menyumbang.

Dalam penilaian tersebut di atas adalah sangat di butuh kan untuk menjadikan dasar bahwa program CSR yang di lakukan oleh suatu organisasi atau perusahaan dapat di terima dan di rasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pekerja.

KETIKA KEMISKINAN TERATASI, MAKA PASAR AKAN MEMBESAR DENGAN SENDIRINYA

Muhammad Yunus, sang pemenang Nobel bidang ekonomi, menekankan hal yang sama

dengan Gates: tidak seharusnya perusahaan itu ditujukan untuk memperbesar keuntungan

ekonomi bagi pemegang sahamnya. Hanya saja, bukan rekognisi yang digagasnya sebagai tujuan yang lain, melainkan peningkatan skala perusahaan. Logikanya, bila seluruh keuntungan yang wajar—dalam ukuran bisnis yang melayani keperluan kaum miskin—bagi perusahaan itu dimasukkan menjadi investasi kembali, maka perusahaan akan semakin besar dan jumlah orang miskin yang dilayani akan semakin besar pula. Pemilik modal tetap memiliki perusahaan itu walaupun tidak menarik manfaat ekonomi langsung dari perusahaan yang dimilikinya. Gila? Mungkin saja. Tetapi menurut Muhammad Yunus, ada cukup banyak orang yang lebih gila lagi, yaitu orang-orang yang melakukan filantropi dengan mengetahui bahwa uangnya pasti habis. Bagi Yunus, mendirikan perusahaan sosial awalnya sama dengan berfilantropi, namun “bendanya” akan terus terlihat, bahkan membesar, seiring dengan besarnya manfaat yang terus dirasakan oleh kaum miskin. Ketiga pemikiran di atas bisa mengilhami gerakan filantropi yang hendak mengupayakan kesetaraan dalam generasi. Salah satu arah filantropi juga menjadi jelas: mendirikan perusahaan sosial untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin. Artinya, (beberapa) perusahaan atau individu berkontribusi untuk membuat sebuah pool of financial resources dan juga pool of expertise untuk memastikan agar perusahaan sosial itu bisa berjalan secara mandiri, terus membesar sehingga bisa melayani masyarakat miskin dalam jumlah yang semakin besar. Dan, karena ini adalah filantropi yang uangnya dianggap habis, maka perusahaan atau orang itu tidak mengharap uangnya kembali. Apa yang diperoleh perusahaan yang berkontribusi adalah rekognisi, sebagaimana yang dikemukakan Bill Gates di Davos akhir Januari 2008 lalu. Nantinya rekognisi inilah yang akan diterjemahkan menjadi reputasi perusahaan pemegang sahamnya, dan keuntungannya akan datang dari situ. Karena intergenerational equity harus dipromosikan, maka filantropi yang benar harus juga menyasar kelompok anak-anak dan bayi yang merupakan "generasi mendatang". Selama ini, banyak analisis yang bilang bahwa perusahaan "melupakan" anak-anak, lantaran mereka tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Padahal, jelas mereka merupakan pemangku kepentingan yang sah, kalau perusahaan sadar akan keharusan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan, maka “generasi mendatang” selalu sama pentingnya dengan generasi sekarang, yang keduanya harus dipastikan terpenuhi kebutuhannya. Apapun yang dilakukan filantropi untuk anak-anak—daftarnya mungkin bisa dilihat di publikasi yang mengaitkan perusahaan dengan MDGs, terutama terkait dengan tujuan kedua (pendidikan), keempat (kematian anak) dan kelima (kesehatan ibu) maka itu bisa dibenarkan.

Dengan demikian, filantropi yang benar adalah juga yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan dan pendidikan untuk mereka. Karena kesehatan dan pendidikan anak-anak adalah modal terbesar mereka untuk mengarungi masa depan. Terakhir, masih terkait intergenerational equity, maka pemulihan mutu lingkungan juga jadi sasaran filantropi yang sah. Mutu lingkungan di Indonsia kini cenderung untuk mengalami penurunan, dan pemerintah sangat kerepotan untuk memulihkannya. Dari sudut pandang CSR, perusahaan yang bertanggung jawab atas lingkungan harus memastikan mutu lingkungan dalam pengelolaannya tidak turun, namun tanggung jawab itu terutama terbatas pada wilayah dampaknya. Filantropi bisa dilakukan melampaui pengelolaan lingkungan di wilayah dampak, atau di manapun sepanjang mutu lingkungan memang harus ditingkatkan. Pemulihan mutu lingkungan harus dilakukan dengan pertimbangan utama kemaslahatan kelompok masyarakat miskin yang tinggal di tempat itu. Dengan mutu lingkungan yang lebih baik, mereka akan bias menjamin kehidupannya sendiri dan keturunannya di masa mendatang.

Kalau kita bersetuju dengan Hopkins yang menyatakan hanya filantropi yang bertujuan untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan saja yang sah, maka tampaknya upaya filantropi di Indonesia dan di bagian dunia lain memang harus ditujukan untuk kaum miskin, anak-anak dan pemulihan mutu lingkungan saja. Di luar itu, tampaknya tidak bisa dibenarkan secara etika dan moral. Dan hanya dengan mengarahkan filantropi untuk tiga kepentingan itu sajalah filantropi masih akan terus memiliki tempatnya.

MANFAAT DARI PROGRAM CSR BAGI ORGANISASI

Memang pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi suatu keharusan yang umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2008 mendatang akan diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.

CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.

EXTERNAL CSR PADA MASYARAKAT SEKITAR DAN PEMERINTAHAN

Berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat ditandai dengan munculnya beberapa usaha jasa sebagai mitra usaha perusahaan, terbukanya kesempatan kerja baru, berkembangnya usaha sektor informal. Semua memberi dampak pada sumber pendapatan masyarakat, sehingga akhirnya efek multiplayernya adalah menggerakkan perekonomian masyarakat secara luas.

Implementasi CSR juga mempunyai pengaruh secara langsung atau tidak langsung bagi kepentingan kinerja perusahaan sendiri. Tetapi tidak hanya itu, pengaruhnya juga akan menyentuh ke masyarakat (terutama masyarakat sekitar) dan kepada pemerintah baik lokal maupun pusat.

Setelah melihat proses interaksi antar berbagai faktor pengaruh dan pihak terpengaruh atas implementasi CSR, akan dapat dilihat pula sumbangan apa bagi kepentingan lebih luas perbaikan keadaan, terutama bagi perusahaan yang mengalami banyak konflik sosial.

Meski pada mulanya kurang disadari, pendekatan CD ini merupakan suatu paradigma yang paralel dengan pembangunan (Orde Baru) itu sendiri, yang belakangan dikenal sebagai developmentalisme. Kegiatan CD merupakan kegiatan “sampingan” terhadap “pembangunan nasional” ala Orde Baru dengan sedikit modifikasi populisme (azas kerakyatan). Dalam banyak hal bahkan tenjadi kegiatan LSM yang semuIa dimaksudkan sebagai substitusi dari, kegiatan pemerintah yang top down, menjadi pelengkap (komplementer), kalau bukan malah perpanjangan, kegiatan pemerintah.

Pada dekade kemudian, sejak pertengahan 1980-an, disadari persoalan paradigrnatik tersebut, yang bagi kalangan sebagian LSM dirasakan sebagai “kelemahan” visi dan misi LSM. Timbullah kritik atas paradigma ini, yang dinyatakan sebagai paradigma konformis, dan sebagai jawabannya dikembangkanlah paradigma lain, yakni pemberdayaan rakyat (community empowerment), yang belakangan populer dikenal dalam kegiatan advokasi. Tujuannya tidak lagi sekadar mengajari masyarakat menyesuaikan diri dengan proses pembangunan, melainkan juga mengoreksinya. Bentuk kegiatan paradigma reformatif atau kompetitif ini dapat dibedakan dengan jelas dan kegiatan paradigma konformatif atau akomodatif. KaIau CD diterjemahkan dalam bentuk kegiatan pengembangan ekonomi, perluasan kredit, dan sejenisnya, kegiatan advokasi diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan hukum, pembelaan hak asasi manusia, pencerahan politik, dan sejenisnya.

Di samping dua paradigma di atas ada paradigma ketiga yang melandasi kegiatan keswadayaan, yakni kedermawanan (charity). Tujuannya adalah menolong masyarakat secara langsung mengatasi kesulitan hidupnya. Orientasinya adalah jangka pendek kalau bukan malah keperluan sesaat.

INTERNAL DALAM ORGANISASI ATAU PERUSAHAAN.

Antara variabel implementasi CSR dan kinerja ekonomi perusahaan secara realita mempunyai hubungan timbal balik. Implementasi CSR yang baik dapat menentukan kinerja ekonomi perusahaan secara baik, sebaliknya karena kinerja ekonomi perusahaan yang baik maka dapat mendukung implementasi CSR secara baik pula. Hal ini sangat logis karena untuk mewu-judkan CSR yang baik dibutuhkan biaya yang banyak, oleh karena itu, dukungan kinerja ekonomi perusahaan mutlak dibutuhkan.

Karena dengan demikian perusahaan tidak membiayai pengeluaran-pengeluaran tidak produktif yang tidak terduga, sehingga perusahaan bisa bekerja lebih efisien. Implementasi CSR yang baik ternyata juga memberi dukungan pada peran sosial perusahaan. Peran sosial tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk usaha yang dikemas untuk membantu kebutuhan interen karyawan maupun masyarakat sekitar. Berbagai bentuk layanan sosial tersebut yang menonjol di antaranya adalah: jasa simpan pinjam, penjualan barang bekas/ avalan, penjualan sisa ekspor, layanan kredit konsumsi, persewaan alat transportasi, dan layanan kesehatan. karena Layanan-layanan sosial tersebut juga bisa mendorong peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar.

PENERAPAN CSR

Menurut Marcel van Marreijk (2006) misalnya membedakan antara CSR dengan Corporate Sustainability (CS). Menurutnya CSR itu berhubungan dengan aspek komune masyarakat dan organisasi, sedang CS berhubungan dengan prinsip agensi. CSR, lanjutnya, lebih berhubungan dengan fenomena seperti transparansi, dialog dengan stakeholders dan laporan kelangsungan perusahaan (sustainability report), sedangkan CS memfokuskan misalnya pada penciptaan nilai, penataan lingkungan, sistem produksi ramah lingkungan, dan manajemen sumberdaya manusia.

Usaha pengklasifikasian dan pemetaan teori CSR semisal yang dilakukan oleh Lance Moir (2001), Elisabet Garriga dan Domenec Mele (2004), atau Andrew P. Kakabadse et.al (2007) sama sekali tidak menyingkirkan kompleksitas dan kerumitan konsep ini untuk dikaji secara akademis. Tipologi dan konseptualisasi mereka terhadap berbagai variasi teori seputar CSR tentu saja sangat bermanfaat untuk menganalisa paradigma CSR dalam peta pemikiran, tapi sekali lagi itu tidak meyakinkan dan menghilangkan pluralisme arti, konsep, dan istilah yang sudah interinsik dan embodied melilit tubuh CSR. Karena inilah, secara jujur D. Votaw (1972) sejak jauh hari mengingatkan: ”CSR memang berarti sesuatu, tapi ia tidak selalu sama buat setiap orang.

Dari realita implementasi CSR perusahaan tempat penelitian, dapat diketahui bahwa perusahaan telah mampu mewujudkan semua (20) indicator dalam prinsip corporate citizenship, namun ada 11 indikator yang mempunyai kaitan langsung dengan CSR, sedangkan ada 9 indikator yang tidak terkait langsung dengan makna CSR. Apabila dilihat dari struktur pola implementasi CSR menggambarkan adanya cakupan dominan di dalam aspek-aspek ekono-mi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan hidup; serta ditujukan untuk kepentingan para stakeholders primer dan stakeholders sekunder perusahaan.

Perwujudan CSR yang baik oleh perusahaan yang didasarkan atas kepentingan semua pihak yang terkait, menurut Post (2002) merupakan wujud implementasi dari pendekatan stake-holders perusahaan.

Mengenai Saya

Jakarta, Indonesia, Indonesia
Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di berbagai sisi kehidupan masyarakat yang semakin kokoh adalah fakta empiris. Dengan kekuatan itu, dampak positif maupun negatifnya pun sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat sangatlah rentan,dan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dan pengaruhnya terhadap proses politik di berbagai jenjang pemerintahan hanyalah sebagian dari dampak negatif itu. masih terdapat kebijakan ekonomi-politik pemerintah dan produk hukum yang kurang kondusif dalam mendorong investasi yang ramah sosial dan lingkungan. Implementasi kebijakan CSR korporasi yang bersifat kosmetikal juga masih kerap ditemukan.dan dalam Blog ini saya ingin membagi atau belajar dengan anda mengenai segala permasalahan CSR di negeri ini hingga terwujud kesetabilan dan dapat meningkatkan perekonomian INDONESIA khususnya. Bravo... Weekup...and Speakup for you future right now

CSR