Powered By Blogger

Selasa, Agustus 26

Hubungan CSR dengan Job analysis

Job analysis merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan perusahaan. Di tataran praktis hal ini berarti setiap tahapan manajemen CSR harus didasarkan pada kajian dan penilaian seksama. Hasil kajian yang baik akan mendukung perumusan rencana kegiatan yang handal. Hal yang sama juga menjadi landasan kokoh dalam pelaksanaan kegiatan, sekaligus menjadi sumber sahih dari kegiatan pemantauan dan evaluasi keberhasilan program CSR. Atas dasar inilah Assessment kuantitatif maupun kualitatif ditempatkan dalam urutan pertama dalam ranah jasa yang ditawarkan.

Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening)

  • Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment)
  • Survei Data Dasar (Baseline Survey)
  • Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments)
  • Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping)
  • Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and Management)

Keberhasilan pada suatu organisasi harus dilakukan penilaian. Penilaian tim bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan proses kerja tim yang bersangkutan. Idealnya sistem penilaian dirancang untuk membantu organisasi yang berdasarkan tim yang memberikan andil dalam mencerminkan; 1. Mendapatkan fungsi untuk menyediakan keahlian kepada tim ketika dibutuhkan, 2. Membuat orang-orang dari fungsi yang berbeda pada tim untuk berbicara dalam bahasa yang sama, sehingga mempunyai persepsi yang sama antar anggota dan antar tim.

Ada dua tipe penilaian tim, yaitu "Result measures" mengatakan organisasi dimana dia berdiri dalam usaha mencapai tujuan bukan bagaimana ia sampai disana bahkan lebih penting apa yang seharusnya dilakukan secara berbeda. Sedangkan "Process measures" memonitor tugas-tugas dan aktivitas melalui organisasi yang memperoleh hasil. Ada 4 langkah penciptaan proses pengukuran; 1. Definisikan apa jenis faktor-faktornya, (seperti; waktu, biaya, kualitas, kinerja product), 2. Pemetakan proses cross-functional yang digunakan men-deliver hasil, 3. Identifikasi tugas dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan.

Ada 4 petunjuk dalam memaksimalkan efektivitas dari team; 1. Tujuan sistem pengukuran seharusnya dapat membantu tim, dalam mengukur kemajuannya, 2. Pemberdayaan tim harus memainkan peran utama dalam merancang sistem penilaiannya sendiri, 3. Tim bertanggung jawab untuk proses tersebut, 4. Tim seharusnya hanya mengadopsi pengukuran yang berguna.

Ada satu keuntungan jika tim menciptakan sistem pengukurannya sendiriyaitu anggota yang berasal dari fungsi yang berbeda harus dapat menciptakan dan menyesuaikan bahasa yang sama untuk bekerja dalam tim yang efektif. Persepsi untuk menggunakan bahasa yang tepat memungkinkan komunikasi secara tepat antar bagian, antar tim atau antar fungsi. Pemahaman ini penting agar tidak terjadi misunderstanding yang dapat menimbulkan salah persepsi, kekacauan atau konflik.

Sebagai suatu hasil dari peningkatan jumlah tim di dalam lingkungan bisnis ada suatu peningkatan kepentingan untuk pemberdayaan tingkat yang lebih rendah dari individu dan sebuah peningkatan kepentingan untuk memberikan reward atau penghargaan terhadap inovasi dan kreativitas. Informalitas dan fleksibilitas akan menjadi hal umum. Sebagai suatu hasil dari desentralisasi dimana tim dapat membantu mencapai tujuan organisasi secara lebih cepat. Manajer menengah tidak akan lebih lama dalam peran kediktatoran tetapi akan memerlukan transformasi yang cepat untuk berubah ke dalam fasilitator, pembimbing, koordinator yang bertanggung jawab untuk mengembangkan kompetensi tenaga kerjanya.

Senin, Agustus 25

PENTINGNYA SUATU PENGUJIAN ’’ASSESSMENT ’’ PADA PROGRAM CSR (KAJIAN DAN PENILAIAN)

Assessment ( Kajian dan penilaian) merupakan prasyarat mutlak dalam mewujudkan tujuan keberlanjutan perusahaan. Di tataran praktis hal ini berarti setiap tahapan manajemen CSR harus didasarkan pada kajian dan penilaian seksama. Hasil kajian yang baik akan mendukung perumusan rencana kegiatan yang handal. Hal yang sama juga menjadi landasan kokoh dalam pelaksanaan kegiatan, sekaligus menjadi sumber dari kegiatan pemantauan dan evaluasi keberhasilan program CSR. Atas dasar inilah Assessment kuantitatif maupun kualitatif ditempatkan dalam urutan pertama dalam ranah jasa yang ditawarkan.

Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening)

  • Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment)
  • Survei Data Dasar (Baseline Survey)
  • Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments)
  • Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping)
  • Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and Management)

Transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana-dana social itu, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyanakat maupun tenutama media massa. Tanpa ada transparansi dan akuntabilitas yang cukup dapat timbul penyalahgunaan atau setidaknya fitnah dan kecurigaan dan masyarakat yang dapat menurunkan kepercayaan dan akhirnya minat menyumbang.

Dalam penilaian tersebut di atas adalah sangat di butuh kan untuk menjadikan dasar bahwa program CSR yang di lakukan oleh suatu organisasi atau perusahaan dapat di terima dan di rasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pekerja.

KETIKA KEMISKINAN TERATASI, MAKA PASAR AKAN MEMBESAR DENGAN SENDIRINYA

Muhammad Yunus, sang pemenang Nobel bidang ekonomi, menekankan hal yang sama

dengan Gates: tidak seharusnya perusahaan itu ditujukan untuk memperbesar keuntungan

ekonomi bagi pemegang sahamnya. Hanya saja, bukan rekognisi yang digagasnya sebagai tujuan yang lain, melainkan peningkatan skala perusahaan. Logikanya, bila seluruh keuntungan yang wajar—dalam ukuran bisnis yang melayani keperluan kaum miskin—bagi perusahaan itu dimasukkan menjadi investasi kembali, maka perusahaan akan semakin besar dan jumlah orang miskin yang dilayani akan semakin besar pula. Pemilik modal tetap memiliki perusahaan itu walaupun tidak menarik manfaat ekonomi langsung dari perusahaan yang dimilikinya. Gila? Mungkin saja. Tetapi menurut Muhammad Yunus, ada cukup banyak orang yang lebih gila lagi, yaitu orang-orang yang melakukan filantropi dengan mengetahui bahwa uangnya pasti habis. Bagi Yunus, mendirikan perusahaan sosial awalnya sama dengan berfilantropi, namun “bendanya” akan terus terlihat, bahkan membesar, seiring dengan besarnya manfaat yang terus dirasakan oleh kaum miskin. Ketiga pemikiran di atas bisa mengilhami gerakan filantropi yang hendak mengupayakan kesetaraan dalam generasi. Salah satu arah filantropi juga menjadi jelas: mendirikan perusahaan sosial untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin. Artinya, (beberapa) perusahaan atau individu berkontribusi untuk membuat sebuah pool of financial resources dan juga pool of expertise untuk memastikan agar perusahaan sosial itu bisa berjalan secara mandiri, terus membesar sehingga bisa melayani masyarakat miskin dalam jumlah yang semakin besar. Dan, karena ini adalah filantropi yang uangnya dianggap habis, maka perusahaan atau orang itu tidak mengharap uangnya kembali. Apa yang diperoleh perusahaan yang berkontribusi adalah rekognisi, sebagaimana yang dikemukakan Bill Gates di Davos akhir Januari 2008 lalu. Nantinya rekognisi inilah yang akan diterjemahkan menjadi reputasi perusahaan pemegang sahamnya, dan keuntungannya akan datang dari situ. Karena intergenerational equity harus dipromosikan, maka filantropi yang benar harus juga menyasar kelompok anak-anak dan bayi yang merupakan "generasi mendatang". Selama ini, banyak analisis yang bilang bahwa perusahaan "melupakan" anak-anak, lantaran mereka tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Padahal, jelas mereka merupakan pemangku kepentingan yang sah, kalau perusahaan sadar akan keharusan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan, maka “generasi mendatang” selalu sama pentingnya dengan generasi sekarang, yang keduanya harus dipastikan terpenuhi kebutuhannya. Apapun yang dilakukan filantropi untuk anak-anak—daftarnya mungkin bisa dilihat di publikasi yang mengaitkan perusahaan dengan MDGs, terutama terkait dengan tujuan kedua (pendidikan), keempat (kematian anak) dan kelima (kesehatan ibu) maka itu bisa dibenarkan.

Dengan demikian, filantropi yang benar adalah juga yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan dan pendidikan untuk mereka. Karena kesehatan dan pendidikan anak-anak adalah modal terbesar mereka untuk mengarungi masa depan. Terakhir, masih terkait intergenerational equity, maka pemulihan mutu lingkungan juga jadi sasaran filantropi yang sah. Mutu lingkungan di Indonsia kini cenderung untuk mengalami penurunan, dan pemerintah sangat kerepotan untuk memulihkannya. Dari sudut pandang CSR, perusahaan yang bertanggung jawab atas lingkungan harus memastikan mutu lingkungan dalam pengelolaannya tidak turun, namun tanggung jawab itu terutama terbatas pada wilayah dampaknya. Filantropi bisa dilakukan melampaui pengelolaan lingkungan di wilayah dampak, atau di manapun sepanjang mutu lingkungan memang harus ditingkatkan. Pemulihan mutu lingkungan harus dilakukan dengan pertimbangan utama kemaslahatan kelompok masyarakat miskin yang tinggal di tempat itu. Dengan mutu lingkungan yang lebih baik, mereka akan bias menjamin kehidupannya sendiri dan keturunannya di masa mendatang.

Kalau kita bersetuju dengan Hopkins yang menyatakan hanya filantropi yang bertujuan untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan saja yang sah, maka tampaknya upaya filantropi di Indonesia dan di bagian dunia lain memang harus ditujukan untuk kaum miskin, anak-anak dan pemulihan mutu lingkungan saja. Di luar itu, tampaknya tidak bisa dibenarkan secara etika dan moral. Dan hanya dengan mengarahkan filantropi untuk tiga kepentingan itu sajalah filantropi masih akan terus memiliki tempatnya.

MANFAAT DARI PROGRAM CSR BAGI ORGANISASI

Memang pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi suatu keharusan yang umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2008 mendatang akan diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.

CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.

EXTERNAL CSR PADA MASYARAKAT SEKITAR DAN PEMERINTAHAN

Berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat ditandai dengan munculnya beberapa usaha jasa sebagai mitra usaha perusahaan, terbukanya kesempatan kerja baru, berkembangnya usaha sektor informal. Semua memberi dampak pada sumber pendapatan masyarakat, sehingga akhirnya efek multiplayernya adalah menggerakkan perekonomian masyarakat secara luas.

Implementasi CSR juga mempunyai pengaruh secara langsung atau tidak langsung bagi kepentingan kinerja perusahaan sendiri. Tetapi tidak hanya itu, pengaruhnya juga akan menyentuh ke masyarakat (terutama masyarakat sekitar) dan kepada pemerintah baik lokal maupun pusat.

Setelah melihat proses interaksi antar berbagai faktor pengaruh dan pihak terpengaruh atas implementasi CSR, akan dapat dilihat pula sumbangan apa bagi kepentingan lebih luas perbaikan keadaan, terutama bagi perusahaan yang mengalami banyak konflik sosial.

Meski pada mulanya kurang disadari, pendekatan CD ini merupakan suatu paradigma yang paralel dengan pembangunan (Orde Baru) itu sendiri, yang belakangan dikenal sebagai developmentalisme. Kegiatan CD merupakan kegiatan “sampingan” terhadap “pembangunan nasional” ala Orde Baru dengan sedikit modifikasi populisme (azas kerakyatan). Dalam banyak hal bahkan tenjadi kegiatan LSM yang semuIa dimaksudkan sebagai substitusi dari, kegiatan pemerintah yang top down, menjadi pelengkap (komplementer), kalau bukan malah perpanjangan, kegiatan pemerintah.

Pada dekade kemudian, sejak pertengahan 1980-an, disadari persoalan paradigrnatik tersebut, yang bagi kalangan sebagian LSM dirasakan sebagai “kelemahan” visi dan misi LSM. Timbullah kritik atas paradigma ini, yang dinyatakan sebagai paradigma konformis, dan sebagai jawabannya dikembangkanlah paradigma lain, yakni pemberdayaan rakyat (community empowerment), yang belakangan populer dikenal dalam kegiatan advokasi. Tujuannya tidak lagi sekadar mengajari masyarakat menyesuaikan diri dengan proses pembangunan, melainkan juga mengoreksinya. Bentuk kegiatan paradigma reformatif atau kompetitif ini dapat dibedakan dengan jelas dan kegiatan paradigma konformatif atau akomodatif. KaIau CD diterjemahkan dalam bentuk kegiatan pengembangan ekonomi, perluasan kredit, dan sejenisnya, kegiatan advokasi diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan hukum, pembelaan hak asasi manusia, pencerahan politik, dan sejenisnya.

Di samping dua paradigma di atas ada paradigma ketiga yang melandasi kegiatan keswadayaan, yakni kedermawanan (charity). Tujuannya adalah menolong masyarakat secara langsung mengatasi kesulitan hidupnya. Orientasinya adalah jangka pendek kalau bukan malah keperluan sesaat.

INTERNAL DALAM ORGANISASI ATAU PERUSAHAAN.

Antara variabel implementasi CSR dan kinerja ekonomi perusahaan secara realita mempunyai hubungan timbal balik. Implementasi CSR yang baik dapat menentukan kinerja ekonomi perusahaan secara baik, sebaliknya karena kinerja ekonomi perusahaan yang baik maka dapat mendukung implementasi CSR secara baik pula. Hal ini sangat logis karena untuk mewu-judkan CSR yang baik dibutuhkan biaya yang banyak, oleh karena itu, dukungan kinerja ekonomi perusahaan mutlak dibutuhkan.

Karena dengan demikian perusahaan tidak membiayai pengeluaran-pengeluaran tidak produktif yang tidak terduga, sehingga perusahaan bisa bekerja lebih efisien. Implementasi CSR yang baik ternyata juga memberi dukungan pada peran sosial perusahaan. Peran sosial tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk usaha yang dikemas untuk membantu kebutuhan interen karyawan maupun masyarakat sekitar. Berbagai bentuk layanan sosial tersebut yang menonjol di antaranya adalah: jasa simpan pinjam, penjualan barang bekas/ avalan, penjualan sisa ekspor, layanan kredit konsumsi, persewaan alat transportasi, dan layanan kesehatan. karena Layanan-layanan sosial tersebut juga bisa mendorong peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar.

PENERAPAN CSR

Menurut Marcel van Marreijk (2006) misalnya membedakan antara CSR dengan Corporate Sustainability (CS). Menurutnya CSR itu berhubungan dengan aspek komune masyarakat dan organisasi, sedang CS berhubungan dengan prinsip agensi. CSR, lanjutnya, lebih berhubungan dengan fenomena seperti transparansi, dialog dengan stakeholders dan laporan kelangsungan perusahaan (sustainability report), sedangkan CS memfokuskan misalnya pada penciptaan nilai, penataan lingkungan, sistem produksi ramah lingkungan, dan manajemen sumberdaya manusia.

Usaha pengklasifikasian dan pemetaan teori CSR semisal yang dilakukan oleh Lance Moir (2001), Elisabet Garriga dan Domenec Mele (2004), atau Andrew P. Kakabadse et.al (2007) sama sekali tidak menyingkirkan kompleksitas dan kerumitan konsep ini untuk dikaji secara akademis. Tipologi dan konseptualisasi mereka terhadap berbagai variasi teori seputar CSR tentu saja sangat bermanfaat untuk menganalisa paradigma CSR dalam peta pemikiran, tapi sekali lagi itu tidak meyakinkan dan menghilangkan pluralisme arti, konsep, dan istilah yang sudah interinsik dan embodied melilit tubuh CSR. Karena inilah, secara jujur D. Votaw (1972) sejak jauh hari mengingatkan: ”CSR memang berarti sesuatu, tapi ia tidak selalu sama buat setiap orang.

Dari realita implementasi CSR perusahaan tempat penelitian, dapat diketahui bahwa perusahaan telah mampu mewujudkan semua (20) indicator dalam prinsip corporate citizenship, namun ada 11 indikator yang mempunyai kaitan langsung dengan CSR, sedangkan ada 9 indikator yang tidak terkait langsung dengan makna CSR. Apabila dilihat dari struktur pola implementasi CSR menggambarkan adanya cakupan dominan di dalam aspek-aspek ekono-mi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan hidup; serta ditujukan untuk kepentingan para stakeholders primer dan stakeholders sekunder perusahaan.

Perwujudan CSR yang baik oleh perusahaan yang didasarkan atas kepentingan semua pihak yang terkait, menurut Post (2002) merupakan wujud implementasi dari pendekatan stake-holders perusahaan.

filantropi dan CSR

Ketika gerakan CSR dimulai di Indonesia, kebanyakan perusahaan—dan banyak pemangku kepentingan mereka—memahaminya sebatas filantropi. Ini bukanlah suatu gejala yang khas Indonesia, melainkan merupakan gejala global. Hingga kini pun banyak perusahaan yang ”mendefinisikan” CSR sebagai ”giving back to society” yang berarti bahwa karena ada perasaan seharusnya perusahaan memberikan sesuatu kepada masyarakat setelah mereka mendapatkan keuntungan dari masyarakat. Logika ”giving back”itulah yang mendasari filantropi, yang dalam CSR sesungguhnya dikritik. CSR menekankan pentingnya memastikan bahwa cara-cara yang dipergunakan oleh perusahaan dalam menangguk keuntungan adalah benar, baru kemudian berbicara mengenai bagaimana keuntungan dibagi di antara pemangku kepentingan perusahaan. Dengan logika yang berbeda antara filantropi dan CSR tersebut, masihkah filantropi memiliki tempatnya? Di tahun 2007 lalu, sebuah penyataan yang mengagetkan dilontarkan: filantropi seharusnya udah tidak lagi dilakukan. Lontaran provokatif itu dinyatakan oleh Michael Hopkins dalam bukunya yang banyak dipuji kritikus Corporate Social Responsibility and International Development.

Namun, sebetulnya apa yang dimaksud oleh Hopkins tidaklah sekeras itu. Kalau lembar demi lembar bukunya dibaca dengan hati-hati, sesungguhnya yang ia maksud adalah bahwa filantropi yang tak terkait dengan CSR dan pembangunan keberlanjutan sudah seharusnya ditinggalkan secara perlahan-lahan. Menurutnya, tidak ada tempat dalam 10 tahun ke depan bagi filantropi yang tidak ditujukan untuk keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan. Apakah pernyataan ini tak sekadar provokasi saja, mengingat sesungguhnya filantropi merupakan pemberian sumberdaya secara sekuarela saja, sehingga tidak seharusnya diatur ia terkait dengan apa saja? Ada memang yang punya pendirian demikian. Tetapi, menurut Hopkins, persoalan pembangunan di dunia ini sangatlah besar, sehingga menjadi tidak etis apabila memberikan sumberdaya finansial bukan kepada mereka yang membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah pembangunan. Dengan pertimbangan yang demikian, maka memang sudah seharusnya tujuan kegiatan yang dibiayai oleh filantropi menentukan bisa atau tidaknya filantropi dibenarkan. Kalau “benar atau tidaknya” filantropi ditentukan dari tujuannya yang searah atau tidak dengan pembangunan berkelanjutan, pertanyaannya kemudian adalah: kegiatan apa saja yang memiliki tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan? Jawaban mudahnya adalah segala kegiatan yang mempertinggi kapital sosial, ekonomi dan lingkungan secara sendiri-sendiri atau sekaligus, tanpa mengorbankan salah satunya—atau salah duanya. Artinya: trade off dalam aspek tertentu diharamkan dalam berfilantropi. Asumsi mendasar dari pembangunan berkelanjutan

Asumsi mendasar dari pembangunan berkelanjutan memang kesetaraan antara tiga ranahnya memang kesetaraan antara tiga ranahnya, sehingga mengorbankan ranah tertentu untuk peningkatan ranah yang lain tidaklah bisa dibenarkan. Sebagai catatan saja, kalau sejarah pembangunan berkelanjutan mau dilacak hingga pemikiran terkenal Herman Daly, maka pernyataan keseimbangan itu adalah sebuah kompromi politis. Dalam pemikiran Daly, tak ada pembangunan ekonomi yang bermakna positif yang bias dilakukan apabila lingkungan tidak terjaga dengan benar. Kemudian, pembangunan social hanya bisa dilakukan di atas kondisi ekonomi yang baik, dan hanya dengan kondisi sosial yang baik saja maka kesejahteraan individu bisa dibuat. Ini artinya Daly berpikir bahwa sesungguhnya lingkungan adalah yang utama, disusul ekonomi, baru kemudian sosial dan kesejahteraan individu.

Pelebaran kesenjangan "dikutuk" oleh pembangunan berkelanjutan, karena diyakini akan membuat masalah baru. Dan masalah baru itu akan membuat kerusakan berbagai capital yang ada dalam masyarakat. Bayangkan, apabila suatu jenis sumberdaya alam tertentu dibuat timpang akses atasnya, maka akan ada kelompok yang mendapatkan banyak manfaat, sementara kelompok lain hanya memperoleh sedikit manfaat atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kelompok yang mendapat banyak biasanya akan bersikap eksploitatif, sementara yang mendapat sedikit bisa berpikiran untuk merusak saja sumberdaya itu karena insentif memeliharanya memang tidak tersedia.

Artinya: yang boleh dan harus dilakukan oleh kegiatan filantropi adalah kegiatan yang mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial, serta yang menyediakan akses pada sumbersumber ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini merupakan penegakan prinsip kesetaraan dalam generasi atau intragenerational equity dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini filantropi mustilah sangat sadar mengenai kondisi ketimpangan, kemudian memikirkan cara terbaik—paling efisien secara sumberdaya—untuk mengikis sedikit demi sedikit ketimpangan tersebut.

Dari sudut pandang ini, hanya kegiatan yang menjamin bahwa kapital ekonomi, sosial dan lingkungan minimal tidak berkuranglah yang boleh dilaksanakan.

Istilah untuk kegiatan-kegiatan ini adalah promosi kesetaraan antargenerasi atau intergenerational equity. Karena intragenerational equity harus dipromosikan, maka hanya filantropi bagi kalangan yang tidak mampu saja yang bisa dibenarkan. Karena memberikan filantropi kepada mereka yang mampu berarti menambah kesenjangan, bukan menguranginya. Ini juga sejalan dengan berbagai pendirian yang paling mutakhir mengenai peran perusahaan di masyarakat: bottom of the pyramid ala CK Prahalad dan Stuart Hart, Creative Capitalism ala Bill Gates, dan social business ala Muhammad Yunus. Ketiga pemikiran ini menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani kelompok masyarakat miskin dengan alasan untuk mengikis kesenjangan. Ketiga pemikiran juga menekankan bahwa kesenjangan adalah buruk bagi bisnis. Karenanya Prahalad dan Hart meyakinkan kita bahwa memenuhi kebutuhan kaum miskin bukan saja mulia namun sangat menguntungkan baik bagi kaum miskin itu sendiri maupun perusahaan. Dengan memberi contoh keberhasilan Unilever di India yang melayani keperluan kaum miskin,berhasil meningkatkan penjualan, serta membuka peluang usaha bagi kaum miskin, mereka melancarkan kritik bahwa kebanyakan perusahaan hanya “malas berpikir” mengenai bagaimana caranya melakukan itu semua.

Persoalannya bukan uang di kaum miskin yang tidak ada, melainkan bagaimana uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka, selain juga diperbesar jumlahnya. Ketika kemiskinan teratasi, maka pasar juga membesar dengan sendirinya. Kapitalisme kreatif menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani permasalahan kaum miskin karena “kapitalisme tradisional” yang bersumberkan dari mekanisme pasar pengejaran keuntungan tidak memberikan ruang yang memadai untuk pelayanan kepada kelompok miskin. Gates menekankan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan. Baginya, rekognisi sebagai perusahaan sama pentingnya dengan keuntungan. Dan, ketika melayani pasar di mana keuntungan tidak dimungkinkan, maka rekognisi adalah proksinya, sementara ketika keuntungan dimungkinkan, rekognisi adalah bonus bagi perusahaan.

Perusahaan telah mewujudkan CSR secara baik melalui berbagai tindakan yang berdimensi ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Berdasar-kan analisis pendekatan stakeholders, beberapa dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan telah diakui bersinggungan dengan berbagai kepentingan, baik dari pihak-pihak stakeholders primer dan sekunder perusahaan. Untuk memberi deskripsi komprehensif, hasil proses induksi tentang hubungan antar kepentingan, dapat disajikan data temuan berikut:

(1) Jaringan Stakeholders primer (internal perusahaan), meliputi:

(a) Pekerja (Serikat Pekerja): terkait dengan penyediaan kebutuhan pekerja perusahaan;

(b) Penanam modal: terkait dengan pemenuhan kebutuhan modal perusahaan;

(c) Kreditor/Bank: terkait dengan penyediaan pinjaman uang atau kredit perusahaan;

(d) Supplier: terkait dengan urusan menjual produk;

(e) Cus-tomer: terkait urusan pemakai produk perusahaan; dan

(f) Distributor: terkait dengan urusan penyaluran pasar produk perusahaan.

(2) Jaringan Stakehold-ers sekunder sebagai unsur eksternal perusahaan, di antaranya meliputi:

(a) Masyarakat lokal: terkait dengan urusan lapangan kerja dan masalah

Lingkungan;

(b) Pemerintah (Lokal/kota, propinsi, pusat): terkait dengan urusan peraturan/kebijakan dan perpajakan;

(c) Pemerintah asing: terkait dengan urusan persahabatan terutama dalam network pemasaran produk global;

(d) Kelompok aktivitas sosial: terkait dengan permintaan sosial/ kontrak sosial dan kontrol sosial;

(e) Media Massa: terkait dengan urusan publikasi dan membangun image; dan

(f) Masyarakat umum:

Terkait dengan opini positif-negatif terhadap keberadaan perusahaan. Hasil Konfirmasi antara ke-20 prinsip Corporate citizenship dengan wujud implementasi CSR, dapat diketahui bahwa ada 11 indikator yang terkait langsung dengan CSR dan 9 indikator yang terkait tidak langsung dengan CSR.

PEMETAAN PROGRAM CSR

Program-program CSR akan jatuh pada salah satu kategori: meminimumkan dampak negatif (termasuk pengkompensasiannya) atau memaksimumkan dampak positif. Pengkategorian ini lebih jauh diuraikan berdasar pemangku kepentingannya. Artinya, program CSR perusahaan dibuat berdasar kepentingan sahih kelompok tertentu, yang didekati (langsung atau melalui fasilitator) untuk mengetahui pandangannya tentang apa yang seharusnya dilakukan.

Menjadi mudah apabila perusahaan telah melakukan pemetaan pemangku kepentingan terlebih dahulu. Hasil pemetaaan menjadi urutan prioritas program CSR untuk tiap pemangku kepentingan. Langkah berikut, perusahaan melakukan penyesuaikan dengan kebijakan dan ketersediaan sumberdaya; serta merundingkan mekanisme berbagi sumberdaya (resource matching) antara semua pihak, termasuk masyarakat. Setelah prioritas dan ketersediaan sumberdaya diketahui, dilakukan penyusunan program jangka panjang hingga pendek. Sedang organisasi pelaksananya dibuat dengan memasukkan masing-masing pemangku kepentingan, untuk memastikan program yang disusun dilaksanakan sesuai rencana.

Bagaimana strategi terbaik pelaksanaan program CSR? Apakah harus dilakukan langsung oleh perusahaan?

Kondisonal, tergantung kapasitas perusahaan dan seluruh pemangku kepentingannya: dikerjakan sendiri, dilaksanakan bersama mitra, atau diserahkan ke pihak tertentu. Biasanya yang melakukan sendiri mendasarkan pertimbangan adanya kontrol penuh atau karena belum mamadainya kapasitas manajerial dan teknis para pemangku kepentingan. Di ekstrem lain, perusahaan mungkin berpendapat tidak memiliki kompetensi melakukan kegiatan-kegiatan CSR sendiri, hingga lebih baik diserahkan (disubkontrakkan) ke pihak yang lebih mampu.

Masing-masing pendekatan punya kekurangan dan kelebihan. Namun di berbagai literatur pendekatan kemitraan (terutama kemitraan tiga sektor) digambarkan sebagai yang paling besar kemungkinan keberhasilannya. Penyebabnya adalah sifat berbagi sumberdaya dari pendekatan ini serta dipersyaratkannya kontrol dan transparansi. Pendekatan ini dapat pula meminimumkan duplikasi dengan program pembangunan pemerintah atau pekerjaan dampingan organisasi masyarakat sipil.

HAMBATAN DALAM PENERAPAN CSR.

Diduga bahwa terjadinya kasus-kasus konflik sosial pada banyak perusa-haan di Indonesia, utamanya yang terkait dengan perilaku perusahaan, disebabkan oleh tidak diimplementasikannya CSR secara baik oleh perusahaan, terutama tindakan kurang peduli terhadap stakeholders sekunder, yakni pada masyarakat sekitar. Dari sumber berita Kompas beberapa edisi waktu, dapat disebut beberapa contoh konflik sosial perusahaan yang pernah terjadi di Indonesia, seperti:

  • PT .Freeport di Jaya Pura,
  • PT .Inti Indorayon di Porsea Sumatra Utara,
  • PT .Samsung di Pasuruan,
  • PT .Exon Mobil di Loksumawe Aceh,
  • PT.New Mont di Sulawesi Utara

(Sumber Kompas 2004).

Realita kasus dari banyak kasus yang lain tersebut, memberi gambaran betapa rentan dunia usaha kita dengan konflik sosial, apabila CSR-nya ren-dah. Kondisi demikian juga akan membawa dampak terpuruknya dunia usaha dan iklim investasi, serta menurunnya daya saing perusahaan, baik di tingkat nasional maupun global, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian di sisi lain ada pula perusahaan besar yang menunjukkan konflik sosialnya rendah karena mampu mewujudkan CSR secara baik. Karena CSR yang baik pula, maka keberadaan perusahaan beroperasi menjadi diterima oleh masyarakat, sehingga bisa mewujudkan kinerja ekonomi secara baik dan aman.

CSR pada suatu industri besar, yang beroperasi secara internasional. Permasalahan mendasar-nya adalah: Melalui indikator apa perusahaan mampu menerapkan CSR secara baik, bagaimana makna ekonomis penerapan CSR yang baik bagi internal perusahaan dan eksternal masyarakat sekitar.

Sesuai dengan prinsip-prinsip corporate citizenship yang mendasari perilaku etis perusahaan, Davernport, (1999) telah mengembangkan 20 komponen dasar yang relevan dengan penerapan CSR secara baik, dan kesemuanya dapat dikelompok-kelompokkan lagi ke dalam 8 komponen utama. Komponen-komponen tersebut di antaranya adalah:

(1) Tingkah laku bisnis etis, meliputi: sifat adil dan jujur, standar kerja tinggi, melatih etis para pimpinan dan eksekutif;

(2) Komitmen tinggi pada stakeholders, meliputi: keuntungan untuk semua stakeholders, adanya inisiatif dan mewujudkan dia-log;

(3) Peduli masyarakat, meliputi: membangun hubungan timbal balik, dan melibatkan masyarakat dalam operasi perusahaan;

(4) Terhadap konsumen, melindungi hak-haknya, kualitas layanan, dan memberi informasi jujur;

(5) Terhadap pekerja, meliputi: membangun lingkungan kekeluargaan, tanggung jawab (accountable), upah yang wajar, komunikasi yang luwes, dan mengembangkan pekerja; (6) investasi secara kompetitif;

(7) Untuk pemasar: berbisnis secara adil; dan

(8) Komitmen terhadap lingkungan, meliputi: menjaga kualitas lingkungan, dan komitmen terhadap pembangunan berkelan-jutan.

Terkait dengan tingkatan praktis terapan manajemen, Post., et all. (2002) telah membedakan stakeholders primer dan sekunder. Post menjelaskan bahwa, stakeholders primer adalah kelompok yang secara langsung mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuan utamanya yaitu memberikan barang dan jasa kepada masyarakat; sedangkan stakeholders sekunder adalah semua kelompok dalam masyarakat yang dapat dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh dampak sekunder beroperasinya

suatu perusahaan.

KEGIATAN PROGRAM CSR.

Saat ini mulai dikampanyekan dan terjadi pergeseran dalam pengembangan program CSR yang berorientasi pada penguatan usaha kecil, di Indonesia program tersebut dipicu oleh kepres zaman Presiden Soeharto yang mewajibkan BUMN membantu UKM dengan penyisihan laba.

Dalam pelaksanaannya, Terdapat tiga tingkat kegiatan program CSR dalam usaha memperbaiki kesejahteraan masyarakat yakni:

  1. Kegiatan program CSR yang bersifat “charity”, Bentuk kegiatan seperti ini ternyata dampaknya terhadap masyarakat hanyalah “menyelesaikan masalah sesaat” hampir tidak ada dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain lebih mahal, dampak jangka panjang tidak optimal untuk membentuk citra perusahaan, dari sisi biaya, promosi kegiatan sama mahalnya dengan biaya publikasi kegiatan. Walaupun masih sangat relevan, tetapi untuk kepentingan perusahaan dan masyarakat dalam jangka panjang lebih dibutuhkan pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat.
  1. Kegiatan program CSR yang membantu usaha kecil secara parsial. Saat ini makin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat, salah satu bentuk kegiatannya adalah membantu usaha kecil, tetapi bentuk kegiatan perkuatan tersebut masih parsial, memisahkan kegiatan program yang bersifat pendidikan, ekonomi, infrastruktur dan kesehatan. Walaupun lebih baik ternyata pada tingkat masyarakat kegiatan ini tidak dapat diharapkan berkelanjutan, bahkan cenderung meningkatkan kebergantungan masyarakat pada perusahaan, sehingga efek pada pembentukan citra ataupun usaha untuk menggalang kerjasama dengan masyarakat tidak didapat secara optimal.

3. Kegiatan program CSR yang beroreintasi membangun daya saing masyarakat, program CSR akan memberi dampak ganda untuk perusahaan dan masyarakat karena : Dari awal dirancang untuk meningkatkan produktifitas (sebagai ukuran data saing) guna meningkatkan daya beli sehingga meningkatkan akses pada pendidikan dan kesehatan jangka panjang, untuk itu perlu diberikan penekanan pada keberlanjutan penguatan ekonomi secara mandiri (berjangka waktu yang jelas/mempunyai exit policy yang jelas) Untuk memberikan ungkitan besar pada pendapatan masyarakat maka kegiatan perkuatan dilakukan pada rumpun usaha spesifik yang saling terkait dalam rantai nilai, setiap pelaku pada mata rantai nilai pada dasarnya adalah organ ekonomi yang hidup, perkuatan dilakukan untuk meningkatkan metabolisme (aliran barang, jasa, uang, informasi dan pengetahuan) dalam sistem yang hidup tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan performance setiap organ. Pendekatan CSR yang smart adalah dengan mengambil peran sebagai fasilitatif-katalistik sehingga kegiatan CSR lebih efesien memberikan dampak pada rumpun usaha dalam satu rantai nilai. Program pendidikan, kesehatan, dan infrasturktur infrastruktur dirancang sinergis dengan penguatan ekonomi sehingga mampu menigkatkan indeks pembangunan manusia pada tingkat lokal.

PEMANGKU KEPENTINGAN PROGRAM CSR

CSR adalah manajemen dampak, hingga pihak yang menjadi pemangku kepentingan utama adalah mereka yang berada di wilayah dampak. Para pihak ini menerima dampak-dampak (positif dan negatif) yang berbeda, hingga perusahaan harus secara pasti mengetahui dan bagaimana tiap kelompok yang terkena.

Masyarakat yang sudah sangat terbuka biasanya dapat menyampaikan secara langsung dampak yang diterima dan menegosiasikan apa seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Untuk konteks Indonesia, perusahaan masih dituntut berada di posisi lebih proaktif. Langkah awal adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sebagai kewajiban yang tak sekadar administratif belaka, tetapi benar-benar menjadi alat komprehensif mengetahui secara dampak operasi perusahaan.

Kalau Amdal dianggap belum memadai, perusahaan perlu melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping). Lewat pemetaan ini terekam pihak-pihak mana yang berkepentingan; apa saja kepentingannya; dan bagaimana kepentingan itu diintegrasikan dalam operasi perusahaan.

Di kebanyakan kasus perusahaan tidak dapat melakukan pemetaan sendirian, melainkan dibantu fasilitator seperti Organisasi non profit , universitas, atau lembaga konsultan yang kredibel. Penelitian-penelitian tentang teori pemangku kepentingan menyediakan pedoman berharga bagi pekerjaan ini. Secara umum dinyatakan pemangku kepentingan adalah mereka yang memiliki power (kekuatan mempengaruhi jalannya operasi perusahaan), legitimacy (dukungan anggota kelompok atau norma tertentu), urgency (dimensi waktu dari tuntutan, yang bila tidak dipenuhi segera berdampak buruk), serta proximity (kedekatan geografis).

CSR MENINGKATKAN KEPEDULIAN KARYAWAN

Menurut penelitian yang dilakukan Sirota Survey Intelligence, komitmen yang besar terhadap CSR berdampak luas pada sikap-sikap karyawan, dan membantu mengembangkan pandangan-pandangan positif terhadap pimpinan perusahaan. Dari 1,6 juta karyawan di lebih dari 70 organisasi, tercatat 7 dari 10 memberikan acungan jempol atas komitmen pemimpin mereka terhadap CSR."Bisnis yang menyadari pentingnya tanggung jawab sosial biasanya memiliki karyawan yang cenderung lebih puas dengan pekerjaan mereka. Mereka mengadopsi nilai-nilai yang serupa dan menjadi lebih peduli untuk mensukseskan perusahaan," ujar Presiden Sirota Survey Intelligence Douglas Klein.

Salah satu temuan yang mengejutkan dari survei tersebut adalah perbedaan penyikapan terhadap manajemen senior dalam organisasi yang memperlihatkan komitmen kuat terhadap CSR. Tujuh dari 10 karyawan dalam organisasi-organisasi tersebut menilai manajemen senior memiliki integritas tinggi, berbanding satu dari 5 karyawan yang memandang negatif komitmen CSR pemimpin mereka.

"Karyawan melihat CSR berhubungan dengan penilaian atas karakter kepemimpinan kalangan senior, dalam arti bahwa manajemen bisa bercermin dari situ untuk mengetahui apa yang mereka inginkan," ujar Klein.

Fakta yang mirip juga ditemukan dalam menilai "sense of direction" manajemen senior. Dua dari tiga karyawan yang puas dengan komitmen CSR pimpinan mereka merasa bahwa manajemen senior memiliki "sense of direction" yang kuat, berbanding 18% karyawan di organisasi yang rendah komitmen CSR-nya."Ketika karyawan mempertanyakan waktu atau biaya yang dihabiskan untuk inisiatif-inisiatif sosial, pemimpin yang efektif akan menunjukkan peran strategis program-program tersebut dalam menyokong kepentingan-kepentingan bisnis," kata Klein.Pengaruh dari sikap-sikap positif semacam itu terhadap "employee engagement" juga sama mengejutkannya. Ketika karyawan berpikir positif tentang komitmen CSR organisasi, "employee engagement"-nya 86%. Namun, ketika karyawan berpikir negatif tentang aktivitas-aktivitas CSR pimpinannya, hanya 37% yang "highly engaged".

Menurut Douglas Klein, perbedaan besar itu menggambarkan fakta bahwa rasa kebanggaan merupakan penggerak utama baik semangat maupun hasil. "Orang ingin diasosiasikan dengan sukses organisasi yang memiliki citra positif," kata dia."Karyawan tidak memisahkan bahwa moral yang ini untuk karyawan dan yang itu untuk komunitas," tambah dia."Komitmen pimpinan mereka atas tanggung jawab sosial perusahaan penting untuk menyampaikan bahwa aksi-aksi organisasi berada dalam interest terbaik mereka, dan dipersembahkan untuk memperlakukan mereka secara fair dan pantas." "Bagi karyawan, CSR dan sukses bisnis itu berjalan beriringan. Perusahaan-perusahaan yang mempertinggi reputasi mereka melalui CSR akan perform lebih baik dan membangkitkan loyalitas yang lebih besar dari karyawan," simpul Klein.

TINDAKAN DISTORSIF

Dalam situasi dan paradigma distortif seperti ini, wacana CSR hadir di Indonesia. Peniadaan pengakuan buruh sebagai bagian lapis pertama stakeholders perusahaan mendorong penggiat CSR untuk mencari-cari kelompok-kelompok di luar perusahaan sebagai objek CSR (outward looking).

Secara bersamaan, paradigma CSR yang membanjiri pembicaraan para eksekutif perusahaan didominasi oleh kelompok pemikiran yang tidak murni berbasis pada stakeholders primacy notion.

Untuk mengubah Praktik CSR oleh perusahaan tidak lebih sebagai kamuflase bisnis , secara paradigmatik, pertama-tama, konsepsi stakeholders harus dikembalikan dari outward looking ke inward looking dengan memprioritaskan kepentingan buruh dalam pelaksanaan CSR. Buruh berikut keluarganya harus dipersepsikan sebagai stakeholder utama perusahaan.

CSR dalam konteks saat ini dijadikan sebagai sarana untuk membantu dan meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan buruh. Setelah buruh dapat menikmati arti dan manfaat CSR, barulah kemudian para stakeholders lainnya diberikan bagian yang proporsional untuk menerima dan dijadikan sebagai objek CSR. Hanya dengan begitu, CSR menjadi instrumental dalam penyejahteraan buruh Indonesia.

CSR DAN KAITANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN BURUH DI


(Bisnis Indonesia) Pada awal Mei ini ribuan buruh di berbagai daerah kembali meneriakkan tuntutan kesejahteraan mereka. Ritual tahunan perayaan May Day kali ini semakin menemukan titik kritisnya persis di saat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menyusul rencana pemerintah menaikkan harga BBM beberapa saat lagi.Dalam situasi seperti ini, perusahaan sebagai lokus produksi ekonomi nasional sekaligus tempat di mana buruh menggantungkan hidupnya dihadapkan pada kondisi dilematis. Pemerintah tentunya berharap agar para pengusaha dapat mengambil peran dalam proses stabilisasi ekonomi, tetapi di sisi lain mereka juga akan sangat bergantung pada kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat pemerintah serta kondisi internal perusahaan mereka.

Bagi perusahaan yang khususnya bergerak di, dan terkait dengan, pengelolaan sumber daya alam, situasi ini tentunya semakin sulit mengingat beban tambahan mereka untuk mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) yang diwajibkan dalam Pasal 74 Undang-undang Perusahaan Terbatas (UUPT). Di sini, upaya peningkatan kesejahteraan buruh seakan-akan diperhadapkan dengan pelaksanaan kewajiban CSR yang teknisnya masih digodok oleh pemerintah dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP).

SURVEY MENGENAI PENGARUH CSR TERHADAP ORGANISASI.

Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi dalam jangka panjang .

Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Dan Menurut hasil Survey “The Millenium Poll on CSR” ( 1999 ) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) diantara 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40% citra perusahaan & brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.

Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin “menghukum” (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.

Dan Hasil survey di beberapa media di prancis ,german dan inggris yang di lakukan oleh Burson-Marsteller adalah sebagi berikut :

• 66% of opinion leaders agree strongly that corporate citizenship will be important in the future.

• 64% of opinion leaders agree strongly that the health of a company’s reputation will affect their own decisions as legislators, regulators, journalists, NGO leaders, etc.

• 42% of opinion leaders agree strongly that corporate responsibility will affect share prices in the future.

Survey juga menanyakan mengenai kesutujuan mereka dengan CSR akan akan mempengaruhi keputusan di masa yang akan datang.

Dari beberapa hasil survey yang di lakukan oleh lembaga internasional di atas dapat di simpulkan bahwa penerapan CSR akan membawa dampak yang positif bagi profit perusahaan.

KEUNTUNGAN BAGI ORGANISASI ATAU PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN PROGRAM CSR

Masih berlangsung perdebatan antara yang menyatakan CSR hanya menambah beban perusahaan dan yang meyakini kinerja sosial penting dan berhubungan positif dengan keuntungan finansial. Pendapat tidak menguntungkan biasanya mengikuti pendirian Milton Friedman atau, baru-baru ini, David Henderson, yang melabel CSR sebagai misguided virtue atau kebaikan yang salah alamat. Friedman dan Henderson berpendirian bahwa tanggung jawab berada di pundak individu, bukan perusahaan. Sebaliknya kalangan yang melihat kekuasaan bisnis kini sudah sangat besar, tidak setuju perusahaan tak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakan organisasinalnya. Kebijaksanaan universal menyetujui bahwa tanggung jawab membesar bersamaan dengan kekuasaannya, sebab itu perusahaan tidak lagi dapat mengelak.

Sejumlah besar penelitian telah membuktikan kinerja sosial dan kinerja finansial perusahaan sungguh berkorelasi positif. Dan karenanya perdebatan mengenai keuntungan menjalankan CSR sesungguhnya dapat dianggap sudah berakhir. Penelitian Marc Orlitzky, Frank Schmidt, dan Sara Rynes pada 2003, menggunakan data 52 penelitian sebelumnya dengan jumlah kasus 33.878 perusahaan yang merentang selama 30 tahun, merupakan bukti terkuat hingga saat ini. Kalau pun ada yang ’’membuktikan sebaliknya, bahwa tidak ada kaitan erat antara kinerja sosial dengan kinerja finansial perusahaan, kesimpulannya hanya didasarkan pada kasus-kasus anekdotal berskala kecil.

Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan dari bisnisnya. Dengan melakukan CSR tujuan ini dapat terpenuhi.

Telah ditunjukkan oleh banyak studi kasus, perusahaan memperoleh banyak keuntungan bila keberadaan jangka panjangnya terjamin. Keberlangsungan perusahaan ini erat berkait dengan reputasi, yang diperoleh melalui hubungan baik dengan seluruh pemangku kepentingan.

Di era ini hampir mustahil perusahaan menggunakan perlindungan kekuatan-kekuatan represif tanpa mengorbankan reputasinya. CSR menjadi pilihan menjaga keberlanjutan eksistensi perusahaan melalui reputasi yang baik; dan bukan hubungan dengan kekuatan represif.

Bayangkan bagaimana bila perusahaan hanya mementingkan keuntungan finansial jangka pendek dan mengorbankan aspek sosial dan lingkungan. Ketidakpedulian terhadap aspek sosial akan menuai protes masyarakat yang bisa mengganggu operasinya (semisal demonstrasi atau boikot). Terhadap aspek lingkungan, selain reaksi masyarakat, disinsentif juga diterima disinsentif dari pemerintah. Akibatnya, selain biaya operasi membengkak, reputasi perusahaan tercoreng dan pada gilirannya dicerminkan dengan turunnya nilai saham. Implikasi berikut yang mengancam adalah keengganan investor membiayai proyek baru. Dari sudut pandang ini, CSR dengan triple bottom line-nya tentu adalah investasi sangat berharga.

Kasus-kasus yang ditemukan di Indonesia menunjukkan, curahan investasi sosial perusahaan dapat menimbulkan moral hazardberupa perilaku korup lembaga-lembaga pemerintah. Misalnya, ketika diketahui perusahaan tertentu hendak membangun jalan dari titik A hingga B, pemerintah daerah setempat juga mengajukan anggaran untuk pekerjaan yang sama. Ruas jalan yang dibangun dengan sumberdaya dari perusahaan, nyatanya diakui sebagai proyek pembangunan pemerintah daerah.

Pelaksanaan CSR semesti tidak demikian. Bahkan, CSR seyogyanya mendorong perwujudan kondisi tanpa korupsi (dan cici-ciri lain good governance, seperti transparansi) di tubuh perusahaan maupun pemerintahan dan masyarakat.

CSR harus berupaya meminimumkan dampak negatif keberadaan perusahaan. Apabila perusahaan hendak menjalankan program sosial, itu dilakukan dengan transparansi maksimum. Dan karena CSR adalah manajemen dampak operasi, batasannya terlebih dulu harus didefinisikan agar perusahaan tidak memikul beban lebih berat dari yang seharusnya ditanggung. Yang juga penting adalah membuat kesepakatan dengan seluruh pemangku kepentingan berkenaan dengan tanggung jawab masing-masing pihak. Termasuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat dan perusahaan.

CSR MEMPENGARUHI KEPUTUSAN BISNIS DAN PEMBUAT KEBIJAKAN

Konsep hubungan antara perusahaan dengan masyarakat ini dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa pengamat menyatakan CSR berhutang sangat besar pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqh muamalah dalam Islam. Tetapi istilah CSR sendiri baru menjadi populer setelah Howard Bowen menerbitkan buku Social Responsibility of Businessmen pada 1953. Sejak itu perdebatan tentang tanggung jawab sosial perusahaan dimulai. Tetapi baru pada dekade 1980-an dunia Barat menyetujui penuh adanya tanggung jawab sosial itu. Tentu dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman perusahaan terhadap apa yang disebut tanggung jawab sosial.

Secara umum dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terutama berkaitan dengan kritik organisasi masyarakat sipil terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan. Sejarah hubungan antara perusahaan dan masyarakat mencatat banyak peristiwa tragis yang disebabkan operasi perusahaan. Organisasi masyarakat sipil memprotes kinerja yang buruk, yang kemudian ditanggapi oleh perusahaan. Tanggapan defensif serta kamuflase hijau memperumit masalah, sedang yang positif menghasilkan perkembangan CSR.

Institusi pembiayaan yang kian kritis menanamkan investasi memperkuat kecenderungan CSR. Demikian pula konsumen yang juga bersedia membayar ’’ green premium ’’ untuk produk-produk tertentu yang dihasilkan perusahaan berkinerja sosial dan lingkungan baik. Terakhir, pasar tenaga kerja yang menunjukkan adanya pergeseran pilihan dengan mempertimbangkan reputasi perusahaan.

Gabungan faktor-faktor eksternal itu membuat perusahaan yang menjalankan CSR dengan sungguh-sungguh lebih berkemungkinan bertahan di tengah kompetitifnya iklim dunia usaha.

Faktor internal, misalnya, kepemimpinan puncak manajemen perusahaan yang melihat CSR merupakan sumber peluang memperoleh keunggulan kompetitif (responsibility is opportunity). Cukup banyak pengamat yang berpendapat bahwa faktor internal sebagai pendorong CSR semakin kuat berperan di masa datang.

Di masa yang akan datang, setelah semakin terbukanya wawasan dan kesadaran masyarakat serta pemerintah terhadap makna tanggungjawab social - CSR, maka kelangsungan hidup suatu perusahaan akan ditentukan policynya oleh stakeholders. Menutupi tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat akan berakibat fatal. Oleh karena itu, kini makin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya masalah sosial dan lingkungan sebagai unsur biaya perusahaan. Hal ini akan lebih menguntungkan dibanding akhirnya harus membayar tuntutan ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin jauh lebih besar setelah perusahaan mengalami masalah sosial.

Hal yang demikian memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap perwujudan CSR sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan stakeholders. Tuntutan bisnis etis, berimplikasi pada perwujudan aktivitas industri sebagai interaksi harmonis antara stakeholders (pihak-pihak yang berkepen-tingan) dengan para pelaku bisnis (shareholders) itu sendiri. Terwujudnya

interaksi harmonis itulah yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, semua tindakan bisnis dan aktivitas industri akan menjadi penilaian para stakeholders. Semakin etis perilaku bisnis/industri, maka tujuan perusahaan akan tercapai dengan sendirinya dan bisnisnya selalu berjalan dalam koridor hukum.

CSR MEMPENGARUHI KEPUTUSAN BISNIS DAN PEMBUAT KEBIJAKAN

Konsep hubungan antara perusahaan dengan masyarakat ini dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa pengamat menyatakan CSR berhutang sangat besar pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqh muamalah dalam Islam. Tetapi istilah CSR sendiri baru menjadi populer setelah Howard Bowen menerbitkan buku Social Responsibility of Businessmen pada 1953. Sejak itu perdebatan tentang tanggung jawab sosial perusahaan dimulai. Tetapi baru pada dekade 1980-an dunia Barat menyetujui penuh adanya tanggung jawab sosial itu. Tentu dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman perusahaan terhadap apa yang disebut tanggung jawab sosial.

Secara umum dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terutama berkaitan dengan kritik organisasi masyarakat sipil terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan. Sejarah hubungan antara perusahaan dan masyarakat mencatat banyak peristiwa tragis yang disebabkan operasi perusahaan. Organisasi masyarakat sipil memprotes kinerja yang buruk, yang kemudian ditanggapi oleh perusahaan. Tanggapan defensif serta kamuflase hijau memperumit masalah, sedang yang positif menghasilkan perkembangan CSR.

Institusi pembiayaan yang kian kritis menanamkan investasi memperkuat kecenderungan CSR. Demikian pula konsumen yang juga bersedia membayar ’’ green premium ’’ untuk produk-produk tertentu yang dihasilkan perusahaan berkinerja sosial dan lingkungan baik. Terakhir, pasar tenaga kerja yang menunjukkan adanya pergeseran pilihan dengan mempertimbangkan reputasi perusahaan.

Gabungan faktor-faktor eksternal itu membuat perusahaan yang menjalankan CSR dengan sungguh-sungguh lebih berkemungkinan bertahan di tengah kompetitifnya iklim dunia usaha.

Faktor internal, misalnya, kepemimpinan puncak manajemen perusahaan yang melihat CSR merupakan sumber peluang memperoleh keunggulan kompetitif (responsibility is opportunity). Cukup banyak pengamat yang berpendapat bahwa faktor internal sebagai pendorong CSR semakin kuat berperan di masa datang.

Di masa yang akan datang, setelah semakin terbukanya wawasan dan kesadaran masyarakat serta pemerintah terhadap makna tanggungjawab social - CSR, maka kelangsungan hidup suatu perusahaan akan ditentukan policynya oleh stakeholders. Menutupi tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat akan berakibat fatal. Oleh karena itu, kini makin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya masalah sosial dan lingkungan sebagai unsur biaya perusahaan. Hal ini akan lebih menguntungkan dibanding akhirnya harus membayar tuntutan ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin jauh lebih besar setelah perusahaan mengalami masalah sosial.

Hal yang demikian memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap perwujudan CSR sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan stakeholders. Tuntutan bisnis etis, berimplikasi pada perwujudan aktivitas industri sebagai interaksi harmonis antara stakeholders (pihak-pihak yang berkepen-tingan) dengan para pelaku bisnis (shareholders) itu sendiri. Terwujudnya

interaksi harmonis itulah yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, semua tindakan bisnis dan aktivitas industri akan menjadi penilaian para stakeholders. Semakin etis perilaku bisnis/industri, maka tujuan perusahaan akan tercapai dengan sendirinya dan bisnisnya selalu berjalan dalam koridor hukum.

CSR SEBUAH INVESTASI JANGKA PANJANG .

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan mesti yakin, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan.

Dengan melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang, maka akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan.CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya Dan sekarang telah banyak perusahaan (korporasi) yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR meski masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari segi besaran uang, banyak perusahaan yang sudah memberikannya dalam jumlah yang cukup besar, ada yang sedang tapi juga ada yang hanya sekedarnya saja.

CSR SEBUAH INVESTASI JANGKA PANJANG

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan mesti yakin, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan.

Dengan melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang, maka akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan.CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya Dan sekarang telah banyak perusahaan (korporasi) yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR meski masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari segi besaran uang, banyak perusahaan yang sudah memberikannya dalam jumlah yang cukup besar, ada yang sedang tapi juga ada yang hanya sekedarnya saja.

CSR DAPAT MENJADI STRATEGI BISNIS & MANAGEMENT RESIKO

Penerapan manajemen risiko yang terintegrasi, akan dapat menangkal terjadinya krisis semacam ini. Berbagai risiko diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya risiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur.

Melalui pengelolaan risiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Pada awalnya, proses bermula dari analisis secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisis kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap risiko yang ada. Namun, identifikasi saja tidaklah cukup.

Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi risiko dengan baik sehingga tahu benar risiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, tetapi salah dalam melakukan antisipasi.

Konsep hak asasi manusia mengimplikasikan adanya "tanggung jawab"

Namun, sudah jamak, hukum bukanlah hukum tanpa enforcement, atau dalam perspektiffilsafat hukum sering disebut "faktisitas", yaitu keterterimaan oleh masyarakat dan subyek hukum lainnya, seperti pebisnis. Enforcement itu, tidak bisa tidak, pasti mengandaikan politik. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab terpenting terkait dengan CSR adalah tanggung jawab politik.

Dari sosial-etis ke politik Namun, bagaimana menagih tanggung jawab politik dari para pelaku bisnis, sementara mereka bukan institusi politik? Paradigma konsep politik perlu diubah. Pertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris. Artinya, institusi atau aktor politik bertanggung jawab bukan semata karena mendapatkan kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tetapi terutama karena praktik penggunaan kekuasaan real di lapangan. Dengan demikian, sebuah perusahaan yang bukan merupakan institusi politik, tetapi kekuasaan ekonominya memiliki implikasi politik yang amat signifikan bagi masyarakat misalnya kehadirannya menyebabkan terampasnya hak-hak sosial dan politik komunitas tertentu di mana perusahaan itu beroperasi apalagi jika perusahaan itu terlibat dalam kampanye dan kegiatan politik baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, akan sah secara politik dimintai pertanggungjawaban.
Terkait advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta dari pelaku bisnis bukan lagi moralis, sosial, filantropis, voluntary, tetapi politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia melampaui pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan kewajiban legal, yang sudah saatnya dikritik adalah kewajiban politik. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi standar legitimasi kekuasaan. Jika itu diabaikan, legitimasi pemegang kekuasaan menjadi goyah.

Bisnis ditagih pertanggungjawaban politiknya bukan dilihat dari segi sumber kekuasaan, tetapi karena praktik kekuasaannya. Logika yang sama juga dikenakan terhadap aktor-aktor nonnegara, seperti vigilante.

Menurut Mitchell, Agle dan Wood (1997),8 tiga atribut yang penting adalah power, legitimacy dan urgency. Power berarti kemampuan untuk memengaruhi perusahaan dan apabila perlu menggunakan paksaan ketika perusahaan melakukan perlawanan atas kepentingannya. Legitimacy berarti dukungan atas tindakan yang dilakukan pemangku kepentingan terhadap perusahaan, yang bisa berasal dari berbagai macam nilai atau norma yang ada di masyarakat. Sementara, urgency berarti derajat kepentingan suatu isu atau klaim dari pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya sensitivitas waktu bagi pemenuhannya oleh perusahaan. Driscoll dan Starik (2004)9 kemudian menambahkan proximity sebagai atribut penting bagi pemangku kepentingan, dengan definisi sebagai fakta kedekatan dalam ruang, waktu atau urutan. Semakin banyak atribut di atas dimiliki oleh orang atau kelompok, semakin signifikan posisinya sebagai pemangku kepentingan. Kalau lingkungan alam ditimbang dengan keempat kriteria itu, ia memiliki keabsahan yang sangat tinggi sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Kalau lingkungan rusak, perusahaan tidak lagi dapat berusaha darinya. Ini menandakan bahwa lingkungan memiliki power.

Sementara legitimacynya diperoleh dari hukum positif, hukum adat dan norma lain yang menyatakan pentingnya perlindungan atas lingkungan. Urgency penyelesaian berbagai masalah lingkungan juga sangat tinggi, mengingat kita tidak dapat hidup kalau kerusakan alam terus terjadi. Dengan kondisinya yang mengelilingi kita semua, maka atribut proximity jelas dimiliki lingkungan. Perimbangan atas keempatnya membuat Driscoll dan Starik menyatakan status lingkungan sebagai pemangku kepentingan adalah primordial, yang berarti “berada pada urutan pertama dalam urutan waktu, atau primer dan fundamental.” Sementara, Wibisono tidak memasukkan lingkungan sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Pembahasannya mengenai pemangku kepentingan eksternal (h. 98-103) hanya mencakup konsumen, penyalur dan pemasok, pemerintah, pers, pesaing, komunitas dan masyarakat.

TANGGUNG JAWAB BISNIS TERHADAP HAM

Dalam diskursus hak asasi manusia, kata "tanggung jawab" atau "kewajiban" biasanyadikaitkan dengan negara. Ini paradigma lama yang berasumsi, lokus kekuasaan real politik terletak pada negara. Kini berkembang paradigma baru yang melihat sentra sentra kekuasaan kini tersebar ke pelbagai institusi nonnegara. Karena itu, bukan hanya Negara yang bertanggung jawab, tetapi juga bisnis dan aktor nonnegara lainnya. Tanggung jawab bisnis ini dikenal sebagai corporate social responsibility (CSR).

CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan pelbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.

Diskursus tentang CSR kian mengalami diversifikasi dan proliferasi definisi. Namun intinya adalah bisnis bertanggung jawab "melampaui isu ekonomi sempit, teknis, bahkan persoalan legal semata"(Davis, 1973).

Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antarnegara.Hipokrisi konsep CSR.

Masalahnya, sejak awal pemunculan hingga kini, konsep CSR berkesan amat moralis. Kata "sosial" dalam CSR bermakna peyoratif yang berarti "sukarela", lebih bermakna sebagai tindakan filantropi, altruistik, kebaikan budi, bukan sebuah kewajiban. Padahal, terkait dengan advokasi hak asasi manusia, imbauan moralis serta semangat altruistik di balik kata "sosial" sama sekali tidak memadai.

CSR Program dan isu suap

Hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingannya di sepanjang tahun 2007 juga diwarnai dengan kasus gugatan hukum. Setidaknya ada enam kasus yang mendapatkan perhatian cukup besar dari khalayak, antara lain: pembebasan Newmont Minahasa Raya (NMR) dari tuduhan pencemaran Teluk Buyat; gugatan atas meluapnya lumpur panas Lapindo; tuduhan pembalakan liar kepada RAPP dan APP, perseteruan antara masyarakat Meruya Selatan Jakarta dengan PT Portanigra, dugaan korupsi PT Asian Agri, dan kasus suap perusahaan kepada pemerintah yang melibatkan perusahaan raksasa Monsanto. Selain enam kasus utama ini ada juga sejumlah kasus yang pada akhirnya memungkinkan perusahaan diseret ke muka pengadilan, seperti demonstrasi tuntutan gaji karyawan PT Freeport dan soal kontrak perusahaan sepatu Nike dengan PT Naga Sakti Paramashoes (NASA) dan PT Hardaya Aneka Shoes Indonesia (HASI). Dua perusahaan Indonesia yang berada di bawah Group Central Murdaya, miliki pengusaha kakap asal Indonesia Hartati Murdaya. Untuk kasus pemenangan NMR, terdapat catatan khusus yang sangat menarik.

Memerhatikan bukti dan argumen ilmiah pengadilan akhirnya memutuskan NMR terbebas dari tuduhan pencemaran. Dari lacakan media, terdapat kecenderungan umum bahwa gugatan yang diajukan oleh kalangan LSM lingkungan tidak mampu memenuhi standar ilmiah analisis lingkungan atau terdapat perbedaan standar dengan regulasi lingkungan di Indonesia. Kelemahan ini memang sudah lama diidap rekan-rekan dari LSM lingkungan, yang selayaknya bisa segera diperbaiki agar perdebatan bisa diselesaikan dengan data yang baik.

Mirip juga dengan dugaan pembalakan liar RAPP/APP. Hingga kini persoalannya masih berputar di sekitar tata regulasi mengenai tafsir dan ketentuan mengenai pembalakan liar. Dalam hal ini tampaknya Departemen (atau Menteri) Kehutanan malah memiliki standar yang lebih longgar dari siapapun. Ada bau korupsi di situ, sebagaimana yang diduga oleh banyak kalangan, dan dilaporkan oleh berbagai media massa. Kasus yang sangat memprihatinkan adalah soal klaim kepemilikan lahan di Meruya Selatan, Asian Agri, dan Monsanto, yang lagi-lagi tidak bisa terhindar dari dugaan penyuapan (korupsi) yang dilakukan perusahaan kepada pemerintah atau sebaliknya. Bagaimana pun putusan dan gugatan hukum di pengadilan sebenarnya merupakan palang pintu terakhir dari buruknya hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan.

Sebagaimana halnya dengan bentuk hubungan lain dengan aparat pemerintah, sudah menjadi stigma umum bahwa praktik suap, korupsi, dan kolusi yang pada akhirnya merugikan khalayak banyak sangat sulit dihindari. Kesulitan ini terjadi baik dalam dataran praktik—tentunya membutuhkan studi lebih detail, maupun dari segi persepsi. Hingga kini kalangan masyarakat sipil, media, dan masyarakat awam pada umumnya masih meyakini bahwa hubungan ”mesra” antara perusahaan dengan pemerintah dijembatani oleh praktik suap alias adanya praktik korupsi di sana.

Standarisasi Pewajiban CSR versus Upaya Voluntary

Di sepanjang tahun 2007, dipenuhi dengan wacana standarisasi pewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Standarisasi ini bermula dengan digulurkannya Undangundang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 15 UU ini dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab social .perusahaan. Kemudian disusul dengan UU Perseroan Terbatas di mana dalam pasal 74 menyebutkan hal yang sama. Terlepas dari rumusan raison d’ etre dua perundangan ini yang berkeinginan menciptakan tata kelola hubungan harmonis antara perusahaan dengan lingkungannya, banyak pihak memiliki pendirian bahwa sangat kentara adanya motivasi pewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dalam dua UU ini dikaitkan dengan kemungkinan sumber dana non-pajak oleh pemerintah. Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh RUU Mineral dan Batubara (Minerba). Ditegaskan dalam rancangan UU ini bahwa perusahaan wajib menyelenggarakan program community development dan melakukan reklamasi pascatambang. Hal yang sering menjadi perdebatan adalah soal mekanisme perijinan. RUU ini mengadopsi semangat desentralisasi UU Otonomi Daerah, dengan membuat hierarki perijinan dan implikasi penerimaan dana pajak dan non-pajak pemerintah pusat dan daerah. Reaksi kalangan usaha juga cukup menarik diperhatikan.

Umumnya kalangan pengusaha menolak pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan ini.Dengan mekanisme regulasi perijinan yang memberikan ruang lebar bagi pemerintah daerah provinsi dan Dunia usaha menginginkan agar soal CSR tetap merupakan sebuah kewajiban moral, yang mungkin bisa dimaknai bisa melampaui regulasi yang ada atau sebaliknya.Sepertinya sikap seperti ini merefleksikan pengalaman ”buruk” hubungan dunia usahadengan pemerintah. Selain atas alasan tidak efesiennya hitungan investasi, juga berhubungan dengan stigma umum yang nyaris sulit dimungkiri kebenarannya: terus meningkatnya setidaknya dalam persepsi banyak pihak—angka korupsi. Catatan lain sehubungan dengan standarisasi adalah maraknya wacana mengenai Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan gagasan mengenai penerapan kebijakan parameter kelestarian dalam penapisan investasi yang diprakarsai oleh sebuah bank swasta (sustainable lending). Wacana ini lebih berkecenderungan menyerahkan soal CSR kepada mekanisme pasar.

Ada semacam keyakinan bahwa semakin transparen dan semakin maksimum sebuah perusahaan menunjukkan kinerja CSR, maka si perusahaan akan semakin eksis dan semakin menguasai pasar. Selain bertumpu pada kesadaran dan kontrol pasar (konsumen), mekanisme ini juga bertumpu pada efektivitas kontrol yang dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil tentunya dengan bantuan dan sorotan yang sangat intens dari media. Melihat dua kecenderungan di atas, soal CSR kembali menuju pada pertanyaan klasik: ”apakah CSR sebagai sebuah bentuk kepatuhan pada regulasi atau justru merupakan kesadaran etika bisnis yang melampaui standar regulasi?” Tentunya harapan ke depan ingin memilih yang terakhir. Hanya saja, sebagaimana umumnya sebuah cita-cita luhur, ia selalu harus berhadapan dengan berbagai hambatan. Terlepas dari penilaian dan stigma ”korupsi” yang jelas merusak tatanan bisnis berkelanjutan, secara faktual dunia bisnis tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang dominan dan terkadang perlu digadang-gadang agar hubungan di antara perusahaan dan pemerintah bisa ”harmonis”.

Sepertinya ke depan perusahaan harus memiliki pemahaman yang sangat luar biasa mengenai peta para pemangku kepentingannya dan memiliki iktikad yang sangat besar untuk melakukan stakeholder engagement. Proses dan capaian hasil dari kinerja stakeholder engagement, bukan saja bisa menjadikan perusahaan mampu secara realistis mengembangkan ”seni” dan ”strategi” demi keberlanjutan bisnisnya, tapi juga bisa mendorong dirinya menjadi model bagaimana ia melampaui berbagai standar CSR yang ditetapkan regulasi pemerintah. Tidak menutup kemungkinan perusahaan mampu menyumbangkan praktik good corporate governance dan corporate culture kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.

Mengenai Saya

Jakarta, Indonesia, Indonesia
Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di berbagai sisi kehidupan masyarakat yang semakin kokoh adalah fakta empiris. Dengan kekuatan itu, dampak positif maupun negatifnya pun sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat sangatlah rentan,dan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dan pengaruhnya terhadap proses politik di berbagai jenjang pemerintahan hanyalah sebagian dari dampak negatif itu. masih terdapat kebijakan ekonomi-politik pemerintah dan produk hukum yang kurang kondusif dalam mendorong investasi yang ramah sosial dan lingkungan. Implementasi kebijakan CSR korporasi yang bersifat kosmetikal juga masih kerap ditemukan.dan dalam Blog ini saya ingin membagi atau belajar dengan anda mengenai segala permasalahan CSR di negeri ini hingga terwujud kesetabilan dan dapat meningkatkan perekonomian INDONESIA khususnya. Bravo... Weekup...and Speakup for you future right now