Dari sosial-etis ke politik Namun, bagaimana menagih tanggung jawab politik dari para pelaku bisnis, sementara mereka bukan institusi politik? Paradigma konsep politik perlu diubah. Pertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris. Artinya, institusi atau aktor politik bertanggung jawab bukan semata karena mendapatkan kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tetapi terutama karena praktik penggunaan kekuasaan real di lapangan. Dengan demikian, sebuah perusahaan yang bukan merupakan institusi politik, tetapi kekuasaan ekonominya memiliki implikasi politik yang amat signifikan bagi masyarakat misalnya kehadirannya menyebabkan terampasnya hak-hak sosial dan politik komunitas tertentu di mana perusahaan itu beroperasi apalagi jika perusahaan itu terlibat dalam kampanye dan kegiatan politik baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, akan sah secara politik dimintai pertanggungjawaban.
Terkait advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta dari pelaku bisnis bukan lagi moralis, sosial, filantropis, voluntary, tetapi politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia melampaui pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan kewajiban legal, yang sudah saatnya dikritik adalah kewajiban politik. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi standar legitimasi kekuasaan. Jika itu diabaikan, legitimasi pemegang kekuasaan menjadi goyah.
Bisnis ditagih pertanggungjawaban politiknya bukan dilihat dari segi sumber kekuasaan, tetapi karena praktik kekuasaannya. Logika yang sama juga dikenakan terhadap aktor-aktor nonnegara, seperti vigilante.
Menurut Mitchell, Agle dan Wood (1997),8 tiga atribut yang penting adalah power, legitimacy dan urgency. Power berarti kemampuan untuk memengaruhi perusahaan dan apabila perlu menggunakan paksaan ketika perusahaan melakukan perlawanan atas kepentingannya. Legitimacy berarti dukungan atas tindakan yang dilakukan pemangku kepentingan terhadap perusahaan, yang bisa berasal dari berbagai macam nilai atau norma yang ada di masyarakat. Sementara, urgency berarti derajat kepentingan suatu isu atau klaim dari pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya sensitivitas waktu bagi pemenuhannya oleh perusahaan. Driscoll dan Starik (2004)9 kemudian menambahkan proximity sebagai atribut penting bagi pemangku kepentingan, dengan definisi sebagai fakta kedekatan dalam ruang, waktu atau urutan. Semakin banyak atribut di atas dimiliki oleh orang atau kelompok, semakin signifikan posisinya sebagai pemangku kepentingan. Kalau lingkungan alam ditimbang dengan keempat kriteria itu, ia memiliki keabsahan yang sangat tinggi sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Kalau lingkungan rusak, perusahaan tidak lagi dapat berusaha darinya. Ini menandakan bahwa lingkungan memiliki power.
Sementara legitimacynya diperoleh dari hukum positif, hukum adat dan norma lain yang menyatakan pentingnya perlindungan atas lingkungan. Urgency penyelesaian berbagai masalah lingkungan juga sangat tinggi, mengingat kita tidak dapat hidup kalau kerusakan alam terus terjadi. Dengan kondisinya yang mengelilingi kita semua, maka atribut proximity jelas dimiliki lingkungan. Perimbangan atas keempatnya membuat Driscoll dan Starik menyatakan status lingkungan sebagai pemangku kepentingan adalah primordial, yang berarti “berada pada urutan pertama dalam urutan waktu, atau primer dan fundamental.” Sementara, Wibisono tidak memasukkan lingkungan sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Pembahasannya mengenai pemangku kepentingan eksternal (h. 98-103) hanya mencakup konsumen, penyalur dan pemasok, pemerintah, pers, pesaing, komunitas dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar