Ketika gerakan CSR dimulai di
Namun, sebetulnya apa yang dimaksud oleh
Asumsi mendasar dari pembangunan berkelanjutan memang kesetaraan antara tiga ranahnya memang kesetaraan antara tiga ranahnya, sehingga mengorbankan ranah tertentu untuk peningkatan ranah yang lain tidaklah bisa dibenarkan. Sebagai catatan saja, kalau sejarah pembangunan berkelanjutan mau dilacak hingga pemikiran terkenal Herman Daly, maka pernyataan keseimbangan itu adalah sebuah kompromi politis. Dalam pemikiran Daly, tak ada pembangunan ekonomi yang bermakna positif yang bias dilakukan apabila lingkungan tidak terjaga dengan benar. Kemudian, pembangunan social hanya bisa dilakukan di atas kondisi ekonomi yang baik, dan hanya dengan kondisi sosial yang baik saja maka kesejahteraan individu bisa dibuat. Ini artinya Daly berpikir bahwa sesungguhnya lingkungan adalah yang utama, disusul ekonomi, baru kemudian sosial dan kesejahteraan individu.
Pelebaran kesenjangan "dikutuk" oleh pembangunan berkelanjutan, karena diyakini akan membuat masalah baru. Dan masalah baru itu akan membuat kerusakan berbagai capital yang ada dalam masyarakat. Bayangkan, apabila suatu jenis sumberdaya alam tertentu dibuat timpang akses atasnya, maka akan ada kelompok yang mendapatkan banyak manfaat, sementara kelompok lain hanya memperoleh sedikit manfaat atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kelompok yang mendapat banyak biasanya akan bersikap eksploitatif, sementara yang mendapat sedikit bisa berpikiran untuk merusak saja sumberdaya itu karena insentif memeliharanya memang tidak tersedia.
Artinya: yang boleh dan harus dilakukan oleh kegiatan filantropi adalah kegiatan yang mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial, serta yang menyediakan akses pada sumbersumber ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini merupakan penegakan prinsip kesetaraan dalam generasi atau intragenerational equity dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini filantropi mustilah sangat sadar mengenai kondisi ketimpangan, kemudian memikirkan cara terbaik—paling efisien secara sumberdaya—untuk mengikis sedikit demi sedikit ketimpangan tersebut.
Dari sudut pandang ini, hanya kegiatan yang menjamin bahwa kapital ekonomi, sosial dan lingkungan minimal tidak berkuranglah yang boleh dilaksanakan.
Istilah untuk kegiatan-kegiatan ini adalah promosi kesetaraan antargenerasi atau intergenerational equity. Karena intragenerational equity harus dipromosikan, maka hanya filantropi bagi kalangan yang tidak mampu saja yang bisa dibenarkan. Karena memberikan filantropi kepada mereka yang mampu berarti menambah kesenjangan, bukan menguranginya. Ini juga sejalan dengan berbagai pendirian yang paling mutakhir mengenai peran perusahaan di masyarakat: bottom of the pyramid ala CK Prahalad dan Stuart Hart, Creative Capitalism ala Bill Gates, dan social business ala Muhammad Yunus. Ketiga pemikiran ini menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani kelompok masyarakat miskin dengan alasan untuk mengikis kesenjangan. Ketiga pemikiran juga menekankan bahwa kesenjangan adalah buruk bagi bisnis. Karenanya Prahalad dan Hart meyakinkan kita bahwa memenuhi kebutuhan kaum miskin bukan saja mulia namun sangat menguntungkan baik bagi kaum miskin itu sendiri maupun perusahaan. Dengan memberi contoh keberhasilan Unilever di
Persoalannya bukan uang di kaum miskin yang tidak ada, melainkan bagaimana uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka, selain juga diperbesar jumlahnya. Ketika kemiskinan teratasi, maka pasar juga membesar dengan sendirinya. Kapitalisme kreatif menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani permasalahan kaum miskin karena “kapitalisme tradisional” yang bersumberkan dari mekanisme pasar pengejaran keuntungan tidak memberikan ruang yang memadai untuk pelayanan kepada kelompok miskin. Gates menekankan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan. Baginya, rekognisi sebagai perusahaan sama pentingnya dengan keuntungan. Dan, ketika melayani pasar di mana keuntungan tidak dimungkinkan, maka rekognisi adalah proksinya, sementara ketika keuntungan dimungkinkan, rekognisi adalah bonus bagi perusahaan.
Perusahaan telah mewujudkan CSR secara baik melalui berbagai tindakan yang berdimensi ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Berdasar-kan analisis pendekatan stakeholders, beberapa dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan telah diakui bersinggungan dengan berbagai kepentingan, baik dari pihak-pihak stakeholders primer dan sekunder perusahaan. Untuk memberi deskripsi komprehensif, hasil proses induksi tentang hubungan antar kepentingan, dapat disajikan data temuan berikut:
(1) Jaringan Stakeholders primer (internal perusahaan), meliputi:
(a) Pekerja (Serikat Pekerja): terkait dengan penyediaan kebutuhan pekerja perusahaan;
(b) Penanam modal: terkait dengan pemenuhan kebutuhan modal perusahaan;
(c) Kreditor/Bank: terkait dengan penyediaan pinjaman uang atau kredit perusahaan;
(d) Supplier: terkait dengan urusan menjual produk;
(e) Cus-tomer: terkait urusan pemakai produk perusahaan; dan
(f) Distributor: terkait dengan urusan penyaluran pasar produk perusahaan.
(2) Jaringan Stakehold-ers sekunder sebagai unsur eksternal perusahaan, di antaranya meliputi:
(a) Masyarakat lokal: terkait dengan urusan lapangan kerja dan masalah
Lingkungan;
(b) Pemerintah (Lokal/kota, propinsi, pusat): terkait dengan urusan peraturan/kebijakan dan perpajakan;
(c) Pemerintah asing: terkait dengan urusan persahabatan terutama dalam network pemasaran produk global;
(d) Kelompok aktivitas sosial: terkait dengan permintaan sosial/ kontrak sosial dan kontrol sosial;
(e) Media Massa: terkait dengan urusan publikasi dan membangun image; dan
(f) Masyarakat umum:
Terkait dengan opini positif-negatif terhadap keberadaan perusahaan. Hasil Konfirmasi antara ke-20 prinsip Corporate citizenship dengan wujud implementasi CSR, dapat diketahui bahwa ada 11 indikator yang terkait langsung dengan CSR dan 9 indikator yang terkait tidak langsung dengan CSR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar