Powered By Blogger

Kamis, Juni 12

CSR & kesejahteraan buruh

Pada awal Mei ini ribuan buruh di berbagai daerah kembali meneriakkan tuntutan kesejahteraan mereka. Ritual tahunan perayaan May Day kali ini semakin menemukan titik kritisnya persis di saat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menyusul rencana pemerintah menaikkan harga BBM beberapa saat lagi.
Dalam situasi seperti ini, perusahaan sebagai lokus produksi ekonomi nasional sekaligus tempat di mana buruh menggantungkan hidupnya dihadapkan pada kondisi dilematis. Pemerintah tentunya berharap agar para pengusaha dapat mengambil peran dalam proses stabilisasi ekonomi, tetapi di sisi lain mereka juga akan sangat bergantung pada kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat pemerintah serta kondisi internal perusahaan mereka.
Bagi perusahaan yang khususnya bergerak di, dan terkait dengan, pengelolaan sumber daya alam, situasi ini tentunya semakin sulit mengingat beban tambahan mereka untuk mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) yang diwajibkan dalam Pasal 74 Undang-undang Perusahaan Terbatas (UUPT). Di sini, upaya peningkatan kesejahteraan buruh seakan-akan diperhadapkan dengan pelaksanaan kewajiban CSR yang teknisnya masih digodok oleh pemerintah dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam perspektif corporate governance, pertanyaannya kemudian adalah bagaimanakah situasi ini dijembatani? Teknisnya, bisakah CSR dijadikan sebagai instrumen perusahaan untuk menyejahterakan buruh?

Primary stakeholders


Konsep CSR berawal dari dorongan kuat untuk menahan laju 'ketamakan' perusahaan (baca: shareholders) mengambil sendiri keuntungan bisnis yang diperolehnya. CSR adalah konsep yang menawarkan keseimbangan kepentingan antara shareholder dan stakeholder (Andrew P. Kakabadse et.al., 2007).
Pada masa awal sejarah perusahaan, konsep stakeholders tidak pernah dikenal. Yang ada hanya pemilik (owner). Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan dalam Stanford Research Institute Internal Report pada 1963 dan kemudian pada era 1980-an mulai dielaborasi secara sistematis dalam diskursus corporate governance, khususnya sejak R.E. Freeman (1984) menerbitkan bukunya Strategic Management: A Stakeholder Approach.
Di dalam bukunya, Freeman mendefiniskan stakeholder sebagai "any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organisation's objectives." Dalam konteks perusahaan, pihak yang paling berperan memengaruhi tercapainya tujuan pokok perusahaan tentunya dalam urutan hirarkis di posisi puncak adalah para pekerja (eksekutif dan noneksekutif). Tanpa mereka, perusahaan sama sekali tak akan dapat melakukan fungsinya dan otomatis tujuan perusahaan tak akan dapat dioperasionalisasikan.
Buruh, sebagai pekerja noneksekutif, dalam realitas empirik saat ini sayangnya merupakan kelompok marginal yang jauh dari posisi ideal sebagai stakeholders di mata pengusaha. Alih-alih diakui sebagai bagian integral yang ikut serta menjaga kelestarian kepentingan perusahaan, pengusaha lebih banyak menjaga jarak dan menjauhkan pekerjanya dari ikatan langsung berkesinambungan dengan, misalnya, mengkreasi ikatan-ikatan sesaat (kontrak batas waktu), mengalihkan hubungan kontraktual langsung pekerjanya ke perusahaan lain (outsourcing) dan sebagainya.
Dengan berbagai mekanisme yang dilegitimasi oleh regulasi prokapitalis, posisi buruh dihilangkan eksistensinya sebagai pemangku kepentingan utama dalam perusahaan.

Tindakan distortif


Dalam situasi dan paradigma distortif seperti ini, wacana CSR hadir di Indonesia. Peniadaan pengakuan buruh sebagai bagian lapis pertama stakeholders perusahaan mendorong penggiat CSR untuk mencari-cari kelompok-kelompok di luar perusahaan sebagai objek CSR (outward looking).
Penerapan pasal 74 UUPT adalah satu contoh tindakan distortif yang mengebiri kompleksitas dan variasi diskursus CSR hanya dalam satu segmen di luar perusahaan yaitu lingkungan hidup.
Secara bersamaan, paradigma CSR yang membanjiri pembicaraan para eksekutif perusahaan didominasi oleh kelompok pemikiran yang tidak murni berbasis pada stakeholders primacy notion.
Praktik CSR oleh perusahaan tidak lebih sebagai kamuflase bisnis untuk meningkatkan keuntungan pemodal karena kepentingan stakeholder di sana bukanlah sasaran akhir, melainkan tujuan antara yang berujung pada peningkatan citra dan profit perusahaan.
Dengan konteks sosiologis dan filosofis yang tidak berpihak pada kepentingan buruh di atas, pelaksanaan CSR ke depan yang akan diterjemahkan dari mandat UUPT tampaknya tidak akan memberikan harapan menggembirakan bagi buruh dan juga pemerintah Indonesia untuk mengangkat kesejahteraan buruh.
Untuk mengubah hal itu, secara paradigmatik, pertama-tama, konsepsi stakeholders harus dikembalikan dari outward looking ke inward looking dengan memprioritaskan kepentingan buruh dalam pelaksanaan CSR. Buruh berikut keluarganya harus dipersepsikan sebagai stakeholder utama perusahaan.
Indeks pelaksanaan CSR perusahaan karenanya harus memasukkan program dan insentif yang ditujukan kepada pekerjanya sebagai indeks tertinggi keberhasilan CSR. Jika lingkaran dalam perusahaan justru tidak mendapatkan manfaat CSR, dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan CSR melainkan promosi dan profit gaining berkedok CSR.
Selanjutnya, dalam situasi ekonomi yang mendesak saat ini, pemerintah harus berani mengambil terobosan-terobosan untuk mengintroduksikan model-model CSR dan memberikan reward kepada perusahaan yang berpihak pada buruhnya lewat CSR.
CSR dalam konteks saat ini dijadikan sebagai sarana untuk membantu dan meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan buruh. Setelah buruh dapat menikmati arti dan manfaat CSR, barulah kemudian para stakeholders lainnya diberikan bagian yang proporsional untuk menerima dan dijadikan sebagai objek CSR. Hanya dengan begitu, CSR menjadi instrumental dalam penyejahteraan buruh Indonesia.

(Bisnis Indonesia)

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Jakarta, Indonesia, Indonesia
Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di berbagai sisi kehidupan masyarakat yang semakin kokoh adalah fakta empiris. Dengan kekuatan itu, dampak positif maupun negatifnya pun sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat sangatlah rentan,dan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dan pengaruhnya terhadap proses politik di berbagai jenjang pemerintahan hanyalah sebagian dari dampak negatif itu. masih terdapat kebijakan ekonomi-politik pemerintah dan produk hukum yang kurang kondusif dalam mendorong investasi yang ramah sosial dan lingkungan. Implementasi kebijakan CSR korporasi yang bersifat kosmetikal juga masih kerap ditemukan.dan dalam Blog ini saya ingin membagi atau belajar dengan anda mengenai segala permasalahan CSR di negeri ini hingga terwujud kesetabilan dan dapat meningkatkan perekonomian INDONESIA khususnya. Bravo... Weekup...and Speakup for you future right now