Muhammad Yunus, sang pemenang Nobel bidang ekonomi, menekankan hal yang sama
dengan Gates: tidak seharusnya perusahaan itu ditujukan untuk memperbesar keuntungan
ekonomi bagi pemegang sahamnya. Hanya saja, bukan rekognisi yang digagasnya sebagai tujuan yang lain, melainkan peningkatan skala perusahaan. Logikanya, bila seluruh keuntungan yang wajar—dalam ukuran bisnis yang melayani keperluan kaum miskin—bagi perusahaan itu dimasukkan menjadi investasi kembali, maka perusahaan akan semakin besar dan jumlah orang miskin yang dilayani akan semakin besar pula. Pemilik modal tetap memiliki perusahaan itu walaupun tidak menarik manfaat ekonomi langsung dari perusahaan yang dimilikinya. Gila? Mungkin saja. Tetapi menurut Muhammad Yunus, ada cukup banyak orang yang lebih gila lagi, yaitu orang-orang yang melakukan filantropi dengan mengetahui bahwa uangnya pasti habis. Bagi Yunus, mendirikan perusahaan sosial awalnya sama dengan berfilantropi, namun “bendanya” akan terus terlihat, bahkan membesar, seiring dengan besarnya manfaat yang terus dirasakan oleh kaum miskin. Ketiga pemikiran di atas bisa mengilhami gerakan filantropi yang hendak mengupayakan kesetaraan dalam generasi. Salah satu arah filantropi juga menjadi jelas: mendirikan perusahaan sosial untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin. Artinya, (beberapa) perusahaan atau individu berkontribusi untuk membuat sebuah pool of financial resources dan juga pool of expertise untuk memastikan agar perusahaan sosial itu bisa berjalan secara mandiri, terus membesar sehingga bisa melayani masyarakat miskin dalam jumlah yang semakin besar. Dan, karena ini adalah filantropi yang uangnya dianggap habis, maka perusahaan atau orang itu tidak mengharap uangnya kembali. Apa yang diperoleh perusahaan yang berkontribusi adalah rekognisi, sebagaimana yang dikemukakan Bill Gates di Davos akhir Januari 2008 lalu. Nantinya rekognisi inilah yang akan diterjemahkan menjadi reputasi perusahaan pemegang sahamnya, dan keuntungannya akan datang dari situ. Karena intergenerational equity harus dipromosikan, maka filantropi yang benar harus juga menyasar kelompok anak-anak dan bayi yang merupakan "generasi mendatang". Selama ini, banyak analisis yang bilang bahwa perusahaan "melupakan" anak-anak, lantaran mereka tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Padahal, jelas mereka merupakan pemangku kepentingan yang sah, kalau perusahaan sadar akan keharusan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan, maka “generasi mendatang” selalu sama pentingnya dengan generasi sekarang, yang keduanya harus dipastikan terpenuhi kebutuhannya. Apapun yang dilakukan filantropi untuk anak-anak—daftarnya mungkin bisa dilihat di publikasi yang mengaitkan perusahaan dengan MDGs, terutama terkait dengan tujuan kedua (pendidikan), keempat (kematian anak) dan kelima (kesehatan ibu) maka itu bisa dibenarkan.
Dengan demikian, filantropi yang benar adalah juga yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan dan pendidikan untuk mereka. Karena kesehatan dan pendidikan anak-anak adalah modal terbesar mereka untuk mengarungi masa depan. Terakhir, masih terkait intergenerational equity, maka pemulihan mutu lingkungan juga jadi sasaran filantropi yang sah. Mutu lingkungan di Indonsia kini cenderung untuk mengalami penurunan, dan pemerintah sangat kerepotan untuk memulihkannya. Dari sudut pandang CSR, perusahaan yang bertanggung jawab atas lingkungan harus memastikan mutu lingkungan dalam pengelolaannya tidak turun, namun tanggung jawab itu terutama terbatas pada wilayah dampaknya. Filantropi bisa dilakukan melampaui pengelolaan lingkungan di wilayah dampak, atau di manapun sepanjang mutu lingkungan memang harus ditingkatkan. Pemulihan mutu lingkungan harus dilakukan dengan pertimbangan utama kemaslahatan kelompok masyarakat miskin yang tinggal di tempat itu. Dengan mutu lingkungan yang lebih baik, mereka akan bias menjamin kehidupannya sendiri dan keturunannya di masa mendatang.
Kalau kita bersetuju dengan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar