Powered By Blogger

Senin, Agustus 25

filantropi dan CSR

Ketika gerakan CSR dimulai di Indonesia, kebanyakan perusahaan—dan banyak pemangku kepentingan mereka—memahaminya sebatas filantropi. Ini bukanlah suatu gejala yang khas Indonesia, melainkan merupakan gejala global. Hingga kini pun banyak perusahaan yang ”mendefinisikan” CSR sebagai ”giving back to society” yang berarti bahwa karena ada perasaan seharusnya perusahaan memberikan sesuatu kepada masyarakat setelah mereka mendapatkan keuntungan dari masyarakat. Logika ”giving back”itulah yang mendasari filantropi, yang dalam CSR sesungguhnya dikritik. CSR menekankan pentingnya memastikan bahwa cara-cara yang dipergunakan oleh perusahaan dalam menangguk keuntungan adalah benar, baru kemudian berbicara mengenai bagaimana keuntungan dibagi di antara pemangku kepentingan perusahaan. Dengan logika yang berbeda antara filantropi dan CSR tersebut, masihkah filantropi memiliki tempatnya? Di tahun 2007 lalu, sebuah penyataan yang mengagetkan dilontarkan: filantropi seharusnya udah tidak lagi dilakukan. Lontaran provokatif itu dinyatakan oleh Michael Hopkins dalam bukunya yang banyak dipuji kritikus Corporate Social Responsibility and International Development.

Namun, sebetulnya apa yang dimaksud oleh Hopkins tidaklah sekeras itu. Kalau lembar demi lembar bukunya dibaca dengan hati-hati, sesungguhnya yang ia maksud adalah bahwa filantropi yang tak terkait dengan CSR dan pembangunan keberlanjutan sudah seharusnya ditinggalkan secara perlahan-lahan. Menurutnya, tidak ada tempat dalam 10 tahun ke depan bagi filantropi yang tidak ditujukan untuk keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan. Apakah pernyataan ini tak sekadar provokasi saja, mengingat sesungguhnya filantropi merupakan pemberian sumberdaya secara sekuarela saja, sehingga tidak seharusnya diatur ia terkait dengan apa saja? Ada memang yang punya pendirian demikian. Tetapi, menurut Hopkins, persoalan pembangunan di dunia ini sangatlah besar, sehingga menjadi tidak etis apabila memberikan sumberdaya finansial bukan kepada mereka yang membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah pembangunan. Dengan pertimbangan yang demikian, maka memang sudah seharusnya tujuan kegiatan yang dibiayai oleh filantropi menentukan bisa atau tidaknya filantropi dibenarkan. Kalau “benar atau tidaknya” filantropi ditentukan dari tujuannya yang searah atau tidak dengan pembangunan berkelanjutan, pertanyaannya kemudian adalah: kegiatan apa saja yang memiliki tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan? Jawaban mudahnya adalah segala kegiatan yang mempertinggi kapital sosial, ekonomi dan lingkungan secara sendiri-sendiri atau sekaligus, tanpa mengorbankan salah satunya—atau salah duanya. Artinya: trade off dalam aspek tertentu diharamkan dalam berfilantropi. Asumsi mendasar dari pembangunan berkelanjutan

Asumsi mendasar dari pembangunan berkelanjutan memang kesetaraan antara tiga ranahnya memang kesetaraan antara tiga ranahnya, sehingga mengorbankan ranah tertentu untuk peningkatan ranah yang lain tidaklah bisa dibenarkan. Sebagai catatan saja, kalau sejarah pembangunan berkelanjutan mau dilacak hingga pemikiran terkenal Herman Daly, maka pernyataan keseimbangan itu adalah sebuah kompromi politis. Dalam pemikiran Daly, tak ada pembangunan ekonomi yang bermakna positif yang bias dilakukan apabila lingkungan tidak terjaga dengan benar. Kemudian, pembangunan social hanya bisa dilakukan di atas kondisi ekonomi yang baik, dan hanya dengan kondisi sosial yang baik saja maka kesejahteraan individu bisa dibuat. Ini artinya Daly berpikir bahwa sesungguhnya lingkungan adalah yang utama, disusul ekonomi, baru kemudian sosial dan kesejahteraan individu.

Pelebaran kesenjangan "dikutuk" oleh pembangunan berkelanjutan, karena diyakini akan membuat masalah baru. Dan masalah baru itu akan membuat kerusakan berbagai capital yang ada dalam masyarakat. Bayangkan, apabila suatu jenis sumberdaya alam tertentu dibuat timpang akses atasnya, maka akan ada kelompok yang mendapatkan banyak manfaat, sementara kelompok lain hanya memperoleh sedikit manfaat atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kelompok yang mendapat banyak biasanya akan bersikap eksploitatif, sementara yang mendapat sedikit bisa berpikiran untuk merusak saja sumberdaya itu karena insentif memeliharanya memang tidak tersedia.

Artinya: yang boleh dan harus dilakukan oleh kegiatan filantropi adalah kegiatan yang mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial, serta yang menyediakan akses pada sumbersumber ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini merupakan penegakan prinsip kesetaraan dalam generasi atau intragenerational equity dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini filantropi mustilah sangat sadar mengenai kondisi ketimpangan, kemudian memikirkan cara terbaik—paling efisien secara sumberdaya—untuk mengikis sedikit demi sedikit ketimpangan tersebut.

Dari sudut pandang ini, hanya kegiatan yang menjamin bahwa kapital ekonomi, sosial dan lingkungan minimal tidak berkuranglah yang boleh dilaksanakan.

Istilah untuk kegiatan-kegiatan ini adalah promosi kesetaraan antargenerasi atau intergenerational equity. Karena intragenerational equity harus dipromosikan, maka hanya filantropi bagi kalangan yang tidak mampu saja yang bisa dibenarkan. Karena memberikan filantropi kepada mereka yang mampu berarti menambah kesenjangan, bukan menguranginya. Ini juga sejalan dengan berbagai pendirian yang paling mutakhir mengenai peran perusahaan di masyarakat: bottom of the pyramid ala CK Prahalad dan Stuart Hart, Creative Capitalism ala Bill Gates, dan social business ala Muhammad Yunus. Ketiga pemikiran ini menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani kelompok masyarakat miskin dengan alasan untuk mengikis kesenjangan. Ketiga pemikiran juga menekankan bahwa kesenjangan adalah buruk bagi bisnis. Karenanya Prahalad dan Hart meyakinkan kita bahwa memenuhi kebutuhan kaum miskin bukan saja mulia namun sangat menguntungkan baik bagi kaum miskin itu sendiri maupun perusahaan. Dengan memberi contoh keberhasilan Unilever di India yang melayani keperluan kaum miskin,berhasil meningkatkan penjualan, serta membuka peluang usaha bagi kaum miskin, mereka melancarkan kritik bahwa kebanyakan perusahaan hanya “malas berpikir” mengenai bagaimana caranya melakukan itu semua.

Persoalannya bukan uang di kaum miskin yang tidak ada, melainkan bagaimana uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka, selain juga diperbesar jumlahnya. Ketika kemiskinan teratasi, maka pasar juga membesar dengan sendirinya. Kapitalisme kreatif menekankan pentingnya perusahaan untuk melayani permasalahan kaum miskin karena “kapitalisme tradisional” yang bersumberkan dari mekanisme pasar pengejaran keuntungan tidak memberikan ruang yang memadai untuk pelayanan kepada kelompok miskin. Gates menekankan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan. Baginya, rekognisi sebagai perusahaan sama pentingnya dengan keuntungan. Dan, ketika melayani pasar di mana keuntungan tidak dimungkinkan, maka rekognisi adalah proksinya, sementara ketika keuntungan dimungkinkan, rekognisi adalah bonus bagi perusahaan.

Perusahaan telah mewujudkan CSR secara baik melalui berbagai tindakan yang berdimensi ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan. Berdasar-kan analisis pendekatan stakeholders, beberapa dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan telah diakui bersinggungan dengan berbagai kepentingan, baik dari pihak-pihak stakeholders primer dan sekunder perusahaan. Untuk memberi deskripsi komprehensif, hasil proses induksi tentang hubungan antar kepentingan, dapat disajikan data temuan berikut:

(1) Jaringan Stakeholders primer (internal perusahaan), meliputi:

(a) Pekerja (Serikat Pekerja): terkait dengan penyediaan kebutuhan pekerja perusahaan;

(b) Penanam modal: terkait dengan pemenuhan kebutuhan modal perusahaan;

(c) Kreditor/Bank: terkait dengan penyediaan pinjaman uang atau kredit perusahaan;

(d) Supplier: terkait dengan urusan menjual produk;

(e) Cus-tomer: terkait urusan pemakai produk perusahaan; dan

(f) Distributor: terkait dengan urusan penyaluran pasar produk perusahaan.

(2) Jaringan Stakehold-ers sekunder sebagai unsur eksternal perusahaan, di antaranya meliputi:

(a) Masyarakat lokal: terkait dengan urusan lapangan kerja dan masalah

Lingkungan;

(b) Pemerintah (Lokal/kota, propinsi, pusat): terkait dengan urusan peraturan/kebijakan dan perpajakan;

(c) Pemerintah asing: terkait dengan urusan persahabatan terutama dalam network pemasaran produk global;

(d) Kelompok aktivitas sosial: terkait dengan permintaan sosial/ kontrak sosial dan kontrol sosial;

(e) Media Massa: terkait dengan urusan publikasi dan membangun image; dan

(f) Masyarakat umum:

Terkait dengan opini positif-negatif terhadap keberadaan perusahaan. Hasil Konfirmasi antara ke-20 prinsip Corporate citizenship dengan wujud implementasi CSR, dapat diketahui bahwa ada 11 indikator yang terkait langsung dengan CSR dan 9 indikator yang terkait tidak langsung dengan CSR.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Jakarta, Indonesia, Indonesia
Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di berbagai sisi kehidupan masyarakat yang semakin kokoh adalah fakta empiris. Dengan kekuatan itu, dampak positif maupun negatifnya pun sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat sangatlah rentan,dan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dan pengaruhnya terhadap proses politik di berbagai jenjang pemerintahan hanyalah sebagian dari dampak negatif itu. masih terdapat kebijakan ekonomi-politik pemerintah dan produk hukum yang kurang kondusif dalam mendorong investasi yang ramah sosial dan lingkungan. Implementasi kebijakan CSR korporasi yang bersifat kosmetikal juga masih kerap ditemukan.dan dalam Blog ini saya ingin membagi atau belajar dengan anda mengenai segala permasalahan CSR di negeri ini hingga terwujud kesetabilan dan dapat meningkatkan perekonomian INDONESIA khususnya. Bravo... Weekup...and Speakup for you future right now